2010/10/22

DEAR MOM, PLEASE ... BACK TO YOUR CHILDREN

by Jazimah Al-Muhyi on Saturday, August 28

Sudah lama saya ingin menulis buku bertema judul tulisan. ini. Wahai ibu, kembalilah ke rumah. Dekap anakmu, kembalilah pada anak-anakmu.Bermula dari sebuah tulisan yang saya baca, tentang adanya anak-anak aktivis dakwah yang begitu beranjak remaja dan dewasa justru memusuhi dakwah. Lantas terpikir di benak saya, memangnya siapa yang mendidik anak-anak tersebut di masa golden agenya? Di masa pembentukan karakter paling penting itu?

Lantas, dalam sebuah chat saya dapat sebuah keterangan. Seorang teman yang putra pengasuh pesantren bilang, ”Anak-anak Kyai juga banyak yang tidak diasuh oleh ibunya sendiri, Ukhti.” Kurang lebih demikian.
Keinginan menulis buku dengan tema seperti pada judul muncul, juga lantaran  rasa prihatin atas banyaknya fakta yang saya tahu tentang muslimah daiyah yang menyerahkan pengasuhan anaknya pada orang lain.

Menurut sepengetahuan saya, dengan alasan apa pun, tidak sepatutnya seorang ibu meninggalkan anaknya, bahkan jika alasan itu bernama dakwah, apalagi jika cuma atas nama eksistensi diri.


Dakwah, menyeru kepada jalan Allah, sementara di saat yang sama anaknya entah diseru kepada jalan siapa, entah mendengar kalimat-kalimat macam apa, entah dipersuasi atau dinegasi dengan argumentasi macam apa.

Seorang ibu yang cerdas, seorang ibu yang teguh tangguh keimanannya, seorang ibu yang multi kafaah ... bukankah sangat indah apabila menjadi seorang pendidik bagi buah hatinya? Menjadi inspirator utama bagi anak-anak yang kelak menggenggam masa depan umat dan bangsa ini karena pola pikir dan cara hidup ’sang ibu hebat’ yang dia serap selama hampir 24 jam?

Marilah kita pikirkan, bukankah sangat ironis jika ada ibu yang setiap saat mengajari orang lain atau anak-anak orang lain tentang kalimat-kalimat tauhid, melakukan upaya-upaya mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa, namun di saat yang sama anak-anaknya sendiri justru ditangani oleh orang yang kapasitas kapabilitasnya jauh di bawah ibunya?

”Kualitas lebih baik dari kuantitas.”
Ada yang beralasan demikian. Padahal sebuah pendidikan berlangsung sepanjang menit, bahkan detik. Terlebih pendidikan akhlak yang tidak bisa ditransfer kecuali melalui keteladanan. Siapakah yang paling bertanggung jawab meneladankan akhlak kepada anak kalau bukan orangtuanya?
Terlebih, sifat anak yang selalu ingin tahu membuat mereka selalu bertanya tak kenal waktu. Pengalaman saya, anak-anak hampir tidak pernah mengulang pertanyaannya, kecuali jika dia belum paham, atau ada sesuatu yang baru dengan yang ditanyakannya.

Tidak khawatirkah para ibu jika anak-anak lebih sering mendapat jawaban yang  keliru dan ngawur ketimbang yang benar atau setidaknya mencarikan jalan menuju jawaban?
Dan bukan hanya dalam hal melayani pertanyaan, kehadiran seorang ibu yang cerdas dan kokoh imannya diperlukan anak.
Dalam kehidupan sehari-hari, anak akan mengalami banyak hal. Ada yang membuatnya senang, takjub ... ada pula yang membuatnya marah, kecewa, bingung, juga panik. Beberapakali terjadi, anak saya menangis masuk rumah, dan cuma perlu saya peluk sebentar untuk kemudian diam dan berlari keluar, main lagi. Mungkin, dia ingin kembali mendengar suara detak jantung saya, yang begitu dia akrabi selama di alam arwah, alam yang penuh kenyamanan dan kehangatan.

Sungguh, ada banyak hal yang saya alami selama mengasuh anak dan saya menjadi sering berpikir, ini anak-anak yang ditinggal ibunya bagaimana nasib mereka?
(Saya pernah membaca sebuah penelitian mengenai anak yang terpisah dari ibunya selama lebih dari 30 jam per minggu, berpotensi memiliki perilaku agresif dan susah menaati aturan)

”Gak boleh mukul teman. Itu nakal namanya. Kalo nakal nanti ditangkap polisi. Dipenjara. Gak dikasih makan. Mau kamu?”
”Jangan main jauh-jauh, diculik kamu nanti.”
”Jangan lari, jatuh!”
”Jangan panjat pohon, jatuh!”
”Dia memang anak nakal. Sudah, tidak usah main lagi sama dia!”
”Kalo nggak nurut, biar nanti kamu dibawa orang gila!”

Dear Mom, percayakah Anda pada saya bahwa kalimat-kalimat semacam itu yang biasa digunakan oleh orang-orang yang belum mengerti ilmu pendidikan anak? Yang cuma ingin gampang dan yang penting tujuan tercapai tanpa peduli pada cara?
Dear Mom, tidak khawatirkah Anda bila kalimat-kalimat semacam itu pula yang harus anak-anak konsumsi?

No comments:

Post a Comment