Penulis : Embun Biru
Risalah ini aku tuliskan dengan segala kedangkalan ilmuku, sebab Antum-lah yang harus bertanggung jawab pada rasa gundah di hati ini, Ustadz…
Aku tak habis pikir, kenapa laki-laki itu hanya berpikir untuk kesenangan dirinya saja? Apakah mereka pikir wanita itu tercipta tanpa memiliki hati dan rasa? Aku tidak menolak ketika Allah telah menetapkan ayat ta’adud dalam kitabnya, tapi dalam aplikasinya, Rasulullah tetaplah menjadi sebaik-baik teladan! Pertanyaannya, kenapa justeru orang-orang yang (katanya) lebih paham akan segala isi Al Qur’an dan juga kitab hadits melakukan segala apa yang telah disyari’atkan hanya berlandaskan nafsu? Atau lebih tepatnya mengumbar hasrat dengan berkedok syari’at!
Aku bukan hendak mencampuri urusan mereka, tapi permasalahannya dalam kasus mereka selalu menjadikan wanita sebagai korban. Terus terang saja, kau tau aku mantan feminis yang takut pada Rabb-ku. Aku mempelajari syari’at ta’adud yang dilakukan nabiku, yang aku dapatkan adalah cara beliau dalam berlaku adil dengan tanpa melukai satu pun perasaan wanita. Dan lagi, tidak ada satu pun isterinya yang komplain! Pertanyaannya, kenapa kaum pria yang melakukan hal itu di zaman sekarang dengan alasan ittiba’ Nabi, justeru tingkahnya itu melukai hati banyak wanita? Kalau memang tujuan dari ta’adud sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah adalah untuk memuliakan kaum wanita, kenapa pada fenomenanya justeru menyakiti hati wanita? Kenapa para muslimah bisa menerima cara Nabi berta’adud dengan sepenuh pemahaman yang indah, namun kami geram dengan para pelaku ta’adud di zaman kini? KENAPA PARA ‘KORBAN’ TA’ADUD ITU KOMPLAIN???
Aku mendengar tentang kabar seorang pelaku ta'adud, Ustadz…kupikir memang itu urusan dia, aku juga tidak berkenan berurusan dengannya… namun gundah hati ini selalu mengusik hati. Niat dia cari isteri lagi karena isteri pertamanya tidak mau dibawa ke tempat kerjanya yang jauh dengan alasan masih harus pengabdian. Tapi kemudian, yang kudengar tentang calon isteri keduanya ada pada kondisi yang tak jauh beda dengan isteri pertama, namun dia dengan menggunakan berbagai cara meninggalkan amanah pengabdiannya. Inikah keadilan?
Pertanyaanku, Ustadz…bagaimana dengan pembagian yang adil sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah? Beliau tidak hanya adil dalam masalah materi, tapi juga jatah hari! Ini yang perlu digarisbawahi; JATAH HARI. Ketika kemudian isteri kedua dibawa ke tempat kerja, bagaimana dengan nasib isteri pertama? Mungkin saat ini di usianya yang masih sangat lugu, dia masih bisa menghibur dirinya dengan kesibukan di pesantren. Tapi setelah itu? Di suatu hari nanti dia akan merasakan sepi, harapan hadirnya kekasih hati di sisi. Pertanyaannya, dia dalam status sebagai isteri dengan usia yang masih belia, namun sang suami jarang ada di sisinya (mungkin sedang sibuk dengan isteri keduanya yang juga seumuran dengan isteri pertama ini).
Apakah para suami pikir, dengan status seorang wanita ‘sudah menikah’ itu membebaskan dirinya dari fitnah? Bagaimanapun, psikis seorang isteri ingin selalu ada di sisi suaminya, atau minimal ketika ditanya tentang suaminya, ada suatu penegasan dari hatinya. Misalkan, pekan ini dia ditanya, “Mana suamimu?”, jawabnya, “Sedang di tempat isteri kedua.”. Pada sekali pertanyaan mungkin orang akan mafhum, tapi bagaimana dengan pekan-pekan atau bulan berikutnya? Ketika dia terus menjawab kalau suaminya ada di tempat isteri kedua? Kukira, ta’adud cara Islam berbeda dengan poligami zaman feodalism! Kenapa isteri pertama yang (mungkin) membelot ini tidak diceraikan saja, dan biarkan dikemudian hari dia memilih dunianya yang lain?
Aku sendiri tak habis pikir dengan para ‘korban’ itu…kenapa mereka membiarkan suami mereka berlaku tak adil terhadap dirinya namun mereka hanya diam? Bukankah hal demikian justeru menjerumuskan sang suami pada siksa Allah? Naudzubillah…
Aku geram, kenapa banyak dari kaum wanita menyerah pada status isteri sebagai ‘konco wingking’? Padahal, Islam telah memberinya hak untuk memperdalam ilmu, semata karena wanita tercipta sebagai patner kaum pria dan guru bagi anak-anaknya! Apakah mereka berpikir menjadi isteri itu hanya sebagai pemuas hasrat laki-laki secara halal?
Entahlah…ketika aku sepenuhnya sadar, inilah kehidupan dan jalan takdir hidup manusia. Hanya Allah-lah yang berkuasa tanpa aku mampu (dan tak akan pernah mampu) menjangkau kekuasaan-Nya dengan akalku…
Bimbing aku dalam mendikripsikan segala hal dalam kehidupan ini, Ustadz…maafkan bila terlalu menterormu, semata inilah kedangkalan ilmuku…
*****
No comments:
Post a Comment