2010/10/22

Muslimah Dalam Bingkai Agama dan Ilmu

ditulis oleh Embun Biru  on Tuesday, October 12

Tepat sepekan setelah ta’aruf akad nikah terlaksana, semua berlangsung begitu cepat.Rabbi, kuharap ini semua hanyalah mimpi…dan ketika aku terbangun nanti, semuanya akan baik-baik saja…, bisik hatiku saat duduk bersanding dengan pemuda pilihan Bapakku ini. Perlahan telapak tangannya menyentuh punggung tanganku, aku tersentak dan perlahan menarik tanganku dengan menunduk malu. “Ini bukan mimpi, Adinda. Dan ketika kau bangun nanti, semuanya akan menjadi lebih baik. Genggam erat tanganku, dan jangan pernah lepaskan. Bersamamu aku akan meretas jalan surga dengan sayap cinta-Nya…”, bisiknya menggetarkan sanubariku.

Usai acara resepsi sederhana, Ustadz mendekatiku dengan santun, berhati-hati agar tak membuatku takut. Sementara sekujur tubuhku sudah basah oleh keringat dingin. Dia mencari sesuatu di saku celananya. “Ini, untuk Dinda.”, Ustadz memberiku sebuah kejutan berupa permen lollipop rasa strawberry. Mau tak mau aku tersenyum dan tertawa kecil dengan ulahnya, dan suasana tegang menjadi cair hingga mengalir obrolan-obrolan ringan mengawali kisah kasihku dengan Ustadz yang telah sah menjadi kekasihku.

“Setelah selesai S-1 nanti, mau nggak kalau mengulang S-1 di Ummul Quro’?”

“Mmm…memangnya di Saudi sana S-1 yang kita dapat dari Indonesia tidak terpakai ya?”, tanyaku polos pada mahasiswa Universitas Islam Madinah di hadapanku yang tak lain adalah suamiku.

“Standard skalanya kan beda. IP di Saudi sana sampai skala lima.”

“Kalau boleh tanya, kok Ustadz tidak menyuruh saya berhenti kuliah? Bahkan justeru menawarkan untuk sekolah lagi…”

“Kalau Dinda berhenti kuliah, saya nggak jadi punya isteri sarjana dong…”

“Maksud saya, begini…dulu, saya punya teman kuliah, seorang muslimah taat. Di tahun pertama kuliah, dia menikah dan keluar dari kuliahnya atas permintaan suaminya. Dan setelah itu kehidupannya hanya di rumah, bisa dibilang dia terkurung di rumahnya dengan seabrek aktifitas rumah tangga. Saya paham, memang seharusnya demikian fitrah wanita. Tapi bukankah selain jadi isteri, wanita itu juga menjadi seorang ibu yang tidak hanya mendidik anak perempuan tetapi juga mendidik anak laki-laki…”

“Terus?”, Ustadz menyimakku dengan penuh perhatian.

“Dalam mendidik anak laki-laki, seorang ibu membutuhkan pengetahuan yang bijaksana untuk mengarahkan tanggung jawab anak laki-lakinya yang kelak secara otomatis menjadi seorang imam, baik bagi keluarganya atau pun bagi kaumnya. Permasalahan yang akan di hadapi seorang pria dewasa saya kira tidak sekedar persoalan bekerja mencari nafkah, tapi bagaimana caranya dia mencari nafkah itu dengan cara yang cerdas dan bertanggungjawab atas apa yang dia kerjakan.”

“Dinda betul. Maka dari itu, dua landasan terpenting yang harus dimiliki oleh seorang muslimah adalah agama dan ilmu. Bahkan dalam beragama itu pun dalam pengaplikasiannya sangat dibutuhkan ilmu agar tidak menyimpang dari jalur syari’at, tapi di satu sisi juga tidak menjadikan orang yang ingin belajar agama menjauh dari kita. Itulah konsep dakwah yang diajarkan Rasulullah, lembut dan bijak.”

“Sayangnya…tidak banyak muslimah memahami hak-haknya, sebagaimana hak menuntut ilmu yang sangat dibutuhkannya untuk menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Sebagaimana apa yang pernah dikatakan Kartini dalam suratnya yang dituliskan kepada Profesor Anton dan isterinya pada tanggal 4 Oktober 1902,‘Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin, akan ada pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita. Agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri dalam tangannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama’, begitulah…”, argumenku panjang lebar membuat Ustadz tersenyum dan mengangguk mantap.

“Itulah hakikat penciptaan wanita, Adinda…dan memang hanya sedikit wanita yang memahaminya. Saya harap, kau bisa mengajarkannya pada kaummu. Eksistensi hak seorang muslimah yang sebenarnya adalah pondasi dari kewajibannya, ada pada fitrahnya sebagai wanita yang kemudian pada fitrah itu dibingkai dengan ilmu untuk menjalankan segala kewajibannya.”
Malam semakin larut, dengan penuh kelembutan Ustadz membimbingku untuk beranjak tidur. “Beristirahatah, Bidadariku. Esok kita sambut mentari dengan sepenuh keimanan pada Rabbul ‘Alamin. Aku kan menjagamu di sini, dalam lelap mimpi indahmu…”, kata-katanya begitu indah hingga kurasa diriku ada di singgasana kemuliaan. Dikecupnya keningku lembut kemudian ia rentangkan selimut untukku secara sempurna. Suatu hal kecil yang dia lakukan secara sempurna untukku, dalam hati aku berjanji untuk sepenuhnya berbakti padanya dengan segenap ilmuku.

No comments:

Post a Comment