2010/10/26

EnakKepenakMomongAnak

by Jazimah Al-Muhyi on Tuesday, October 12, 2010

Di sebuah tabloid wanita, saya pernah membaca kisah seorang selebriti perempuan yang lagi naik daun, yang saat itu bayaran untuk tiap kali syuting sinetron termasuk paling mahal. But, setelah punya anak dia memutuskan untuk berhenti total demi momong anak. Katanya, ”Saya ingin mengajarkan 7 bahasa yang saya kuasai pada anak saya.”
Kalimat-kalimat selebriti itu menancap cukup kuat di pikiran saya. Hebatnya lagi, si selebriti itu bilang mau kursus vokal. Bukan karena mau jadi penyanyi, tapi biar bisa nyanyi buat anaknya dengan suara yang enak didengar. Canggih juga tekadnya, pikir saya.
So, momong anak dalam benak saya means, berusaha memberikan kemampuan terbaik untuk anak.

Sayangnya, hiks, saya baru menguasai 4 bahasa, itu pun yang 2 tidak terlalu bisa.
Bahasa Jawa dan Indonesia, cukup baik. Inggris dan Arab, ngerti dikit-dikit. Bahasa Jepang bisa sih, tapi arigato doang. Jerman? Bisa dikit-dikit, more than Ich liebe dich. Ini dia lagunya, oleh-oleh dari suami sepulang diklat. Nyanyikan dengan irama Cucakrowo ya :-)
Guten morgen selamat pagi
Guten tag selamat siang
Guten abend selamat malam
Guten nach selamat tidur

Wie gen dir apa kabarmu
Danke gut baik kabarku
Wie his du siapa namamu
Ich his sie namaku aulia
(Tulisannya ada yang salah kayaknya, but pelafalannya kurang lebih begitu, he he)

So, meski belum menguasai sampai 7 bahasa, dan belum juga sempat untuk kursus vokal, momong anak itu asyik lah. Waktu bisa bilang ke anak: itu warna putih, pethak (Jawa), abyadh (Arab—mudzakkar), baidho (Arab-muannats), white ... berasa jadi pakar banyak bahasa. Padahal ngertinya ya baru sampe situ, paling lebihnya dikit.

Pas anak masih bayi, masih diem, belum bisa ngapa-ngapain, nah ... saat yang sangat tepat untuk membacakannya buku sebanyak-banyaknya. Buku kepahlawanan, buku tentang tokoh-tokoh dunia, atau buku apa pun yang kita suka. Yang harus kita ingat adalah bahwa persambungan neuron di otak pada masa ini amat sangat dahsyat luar biasa. So, kalo stimulusnya juga dahsyat, bakal muncul kedahsyatan berlipat-lipat yang luar biasa hebat.

Tahu nggak, ada orangtua yang nekat menjadikan anaknya sebagai kelinci percobaan. Anaknya dibacakan buku terus, dan nggak dikasih mainan apa pun kecuali buku. Hasilnya, si anak ber-IQ dua kali lipat manusia normal! 200 lebih!
Ada pula seorang ibu yang tertakdir melahirkan seorang anak idiot, berjuang gigih membacakan 11 buku untuk anaknya per hari, dan akhirnya si anak berkecerdasan normal.
Dahsyat juga, kan?

Kalau lagi bete, atas nama momong anak, asyik aja tuh ngajak mereka ke sawah, ke pasar, lihat kereta api, dan sebagainya. Orang-orang menyangka aku sedang menenangkan anakku yang rewel, padahal yang rewel itu ya justru ibunya, hi hi.

Dan yang asyik banget, aku bisa menyalurkan ‘kesintinganku’ berpuisi.
Teriak-teriak:
“Kami yang terbaring antara Karawang Bekasi
Tidak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi

Atau

Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali Tuan menanti
Tak gentar lawan banyaknya seribu kali
Pedang di kanan keris di kiri
Terselubung semangat yang tak bisa mati

Atau

Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
Cahya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Gak tau ya, aku kok ngefans ama puisi-puisinya Chairil Anwar. Sehati kali ye. He he.
Atau, baca dengan suara kenceng teks pembukaan UUD 45. Aku masih hapal lho, secara dulu kalo upacara bendera sering kebagian tugas jadi pembaca UUD 45 :-)

Juga nyanyi Indonesia Raya, lagu daerah, lagu anak-anak, segala macam nasyid. Waw, momong anak bikin aku jadi tahu kalo aku ternyata punya kecerdasan di bidang musik. Karena tak hanya bisa mengingat hampir semua lagu yang pernah diajarkan di sekolah (Dari TK sampai SMA), aku juga sudah menciptakan puluhan lagu.

Momong anak itu menuntut peningkatan skill dan ilmu yang terus-menerus. Up date-nya harus setiap saat setiap waktu. Makanya, aku ngerasa jadi makin pinter setelah momong anak (he he, ngaku-ngaku binti narsis banget)

Tapi bener kok. Aku yang dulunya manusia kamar (udah aman nyaman kalo udah di kamar berteman setumpuk buku), karena momong anak harus mau sering silaturrahim ke tetangga. Lha itu, Naila (anak kedua, 2 tahun 3 bulan), hobinya jalan-jalan atau main ke tetangga. Pokoknya nggak di rumah gitulah. Berkembang deh kecerdasan interpersonalku :-)
Yuhui! Kalo di masa sekolah hanya kecerdasan angka dan bahasa aja yang sempat berkembang, maka momong anak kuyakini bisa mengembangkan sembilan jenis kecerdasan seperti yang dirumuskan Howard Gadner. Keren benerrr.

Mengapa begitu? Karena fitrah seorang ibu adalah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Padahal anak-anak itu beda maunya, beda karakternya, dan jelas butuh penanganan yang berbeda-beda.

Aulia (Si sulung, 4 tahun 3 bulan) sangat sensitif, peka dengan penderitaan, sangat mudah iba dan cepat tanggap untuk menolong.
Naila si easy going, ice breaker, nyantai dan cuek.
Muhammad adalah seorang bayi yang sangat tenang dan menentramkan. Tak jarang Aulia yang kuminta menjaga Muhammad malah tertidur di samping adiknya. Juga keponakanku (Firda, 10 tahun), pernah tertidur pulas di samping Muhammad yang masih asyik bermain. Hi hi, lucu juga kan, ada bayi bisa menidurkan anak yang lebih besar?
Kalau dekat ama Muhammad tuh bawaan hati jadi adem aja.

Untuk berhadapan dengan Aulia, aku harus mengembangkan kemampuan bahasa dan diplomasi. Biar gak kalah kalo diajak debat.
Suatu hari dia mengungkapkan lagi rasa penasarannya mengapa aku gak pakai anting-anting.
”Mama gak suka. Risih,” tegasku.
“Muhammad dipakein anting ya.”
 “Enggak. Muhammad kan laki-laki. Laki-laki gak boleh pake anting-anting. Nanti menyerupai perempuan. Gak disayang Allah.”
”Lha Mama berarti gak disayang Allah ( mungkin alur logikanya: karena Mama menyerupai laki-laki)”
”Ya nggak dong. Kan pake anting itu tidak wajib, tidak sunnah pula.”
Aulia diam tanpa perlawanan lagi.. Skak mat berarti! :-)
(Horee, kali ini menang emaknya)

Sama Naila, harus berjuang keras memahami apa yang dia ucapkan. Karena dia ngomongnya banyak tapi gak jelas. Dulu Naila ngamuk kalau aku gak paham-paham, tapi sekarang dia malah ketawa kalau aku kebingungan.
Si easy going ini disukai banyak orang karena suka tertawa. Aku cerita lucu dia tertawa, aku cerita seram dia tertawa, aku baca puisi dia ketawa, aku marah dia tertawa, aku capek dan nangis dia ketawa. Bahkan... waktu aku masuk angin berat dan mandiin dia sambil muntah-muntah pun, dia tertawa.
Ooo, tapi kalau sudah menangis, ekspresinya sungguh menyayat hati. Udah gitu, betah lagi nangisnya. Tapi, ada yang lucu. Seheboh apa pun dia nangis, kalau ditanya tetep mau jawab.
Menstimulus Naila gimana ya? Yang jelas dia senang jika aku heboh. Kalau aku atraktif, dia terpingkal-pingkal. Jadi, tidak cukup dengan gerakan dan ekspresi, tapi harus heboh.
Padahal Aulia gak suka kehebohan.
Alhamdulillah, aku tahu ini.
So, kalau mereka sedang ribut rebutan dan aku sudah pusing dibuatnya, kukeluarkan jurus cerita andalan:
Di hutan yang lebat itu, tinggallah seekor singa besar yang sedang kelaparan (dengan suara yang berat dan kubikin seram)
Hasilnya: Aulia teriak dan segera pergi menjauh, sedang Naila tertawa terpingkal-pingkal. Lumayan, berhenti sejenak perang teluknya :-)

Muhammad kayaknya suka belajar. Waah, lahan empuk buatku yang memang hobi mendoktrinasi. Kisah hidup Shalahuddin kubacakan. Buku-buku cerita juga. Bahkan saat kuajari membaca, matanya tekun mengikuti arah jariku. Muhammad justru tidak terlalu merespon stimulus yang berupa fisik (gerak). Calon pemikir nih kayaknya, nurunin Ayahnya.

Musuh utama momong anak itu bosan, bete, jenuh, dan kadang merasa tak berharga. Lah, karena memang gak ada gajinya, gak ada sertifikasinya, gak ada kenaikan pangkatnya. Lha terus gimana? Ya udah, bikin penghargaan untuk diri sendiri aja. Caranya?
Kalo dulu aku nulis banyak-banyak di buku diary. Kutulis mimpi-mimpiku.
Yang lain?
Bilang ke suami kalo butuh refreshing. Aku sih paling seneng refreshingnya dengan silaturrahim. Ke toko buku, pameran buku, perpustakaan suka juga.

Kalo sekarang sih pake fesbukan.Cari-cari orang yang berprofesi sama denganku. Tukang momong anak. Saling berbagi, saling menyemangati, di note-note juga status yang kutulis. Udah cukup. Tak lagi kurindu segala puja puji dan tepuk tangan itu. Komen en like sudah sangat menghiburku.
Apalagi, kala melihat senyum dan tawa anak-anak ... waaa, itulah yang jadi bikin momong anak terasa enak kepenak :-).

No comments:

Post a Comment