Tulisan ini salah satu episode dari kehidupan yang telah kujalani. Mungkin episode ini layak dinamai sakit jiwa. Saat-saat di mana aku benar-benar menemui sebuah pencarian jati diri. Saat-saat di mana aku stress dan merasa tidak bisa bertahan karena merasa dianggap aneh dan masih banyak lagi.Semua perasaan itu bisa saja hanya prasangkaku.
Semester empat adalah masa-masa di mana aku terpuruk. ip ku semester itu sangat tipis. Hampir tidak layak. Untung saja, belum sampai nasakom, Alhamdulillah. Semester-semester selanjutnya adalah masa-masa perjuangan mendongkrak ip, setelah merasa tidak bertanggung jawab atas nilai yang makin menurun akibat terlalu asyik dengan kegiatan di luar bangku kampus. Meskipun nilaiku semester awal ga buruk-buruk amat, dari awal kuliah aku merasa tidak bisa menikmati apa yang aku pelajari. Alhasil, ketika menemukan aktivitas yang lebih dapat kunikmati (baca: organisasi) aku pun terlena. Dan ip terburukku di semester empatlah yang benar-benar mengembalikan kesadaranku.
Seiring dengan semangat kuliahku yang kembali bangkit, Alhamdulillah di sisi kerohanianku pun bangkit. Mulai mengenal apa yang disebut pengajian. Maksudku, pengajian yang efeknya lebih menghujam pada jiwa. Barangkali inilah yang disebut taufik dan hidayah Mu. Namun, ternyata hal ini tidak selamanya berpengaruh baik bagiku. Ada sisi lain di mana aku benar-benar merasa diuji atas keyakinan yang perlahan-lahan mulai kutetapkan. Di saat aku sudah semangat, bisa menikmati rutinitasku, aku imbangkan antara kampus, ngaji juga (masih) organisasi. Ujian selanjutnya adalah omongan-omongan atau pertanyaan atau paradigma atau entah aku harus menyebutnya apa. Yang jelas sangat mengganggu dan hampir-hampir membuatku benar-benar sakit jiwa (lebay nih kayaknya..).
............"Ngapain masih kuliah aja?"....................
Kira-kira inti dari semua yang mengganggu kesehatan jiwaku adalah pertanyaan itu. What? Memang ada yang salah dengan kuliah? Ya, apa yang kudengar dari mereka sih, kuliah itu -ekstrimnya- haram. Terlebih kondisiku sangat pelik, kuliah di sebuah jurusan yang masih lebih identik dengan laki-laki. Semua yang mereka sebutkan dengan ketidakberesan itu memang nyata-nyata aku jalani. Bercampur dengan laki-laki, jelaslah ga usah ditanya. Tapi ada satu hal yang membuatku semakin down. Katanya perempuan itu nanti kan cuma di rumah dan di dapur aja, ngapain masih bersemangat belajar "hal-hal yang nggak perlu".
Alhamdulillah, meski memang jiwaku agak terguncang aku masih bisa bertahan dan lulus tidak terlalu lama. Meskipun, nilaiku juga tidak mumtaz alias tidak kemelud (baca : tidak cumlaude). Perjuangan yang bagiku tidak bisa dikatakan mudah. Biar bagaimanapun, aku tidak menemukan alasan yang tepat untuk meninggalkan kuliah. Selain aku sudah mulai bisa menikmati materi-materi kuliahku, di atas itu semua ada bapak dan ibu. Aku berpikir, aku boleh berhenti kuliah kalau aku bisa mengembalikan semua biaya dari awal, uang masuk, bayaran kuliah, juga biaya hidup. Dihitung dari sisi mana pun aku tidak akan sanggup. Terlalu banyak, tak mampu kukalkulasi berapa totalnya.
Satu hal yang paling tidak masuk akal adalah, mereka yang berkata daripada terus menerus terjerumus maksiat nikah saja. Lo pikir nikah itu pelarian apa? Kalau dikatakan, setelah nikah masih bisa melanjutkan kuliah dengan lebih tenang, hmm rasanya malah kemungkinannnya sangat kecil. Nanti yang utama malah terlunta-lunta. Kalau dikatakan dengan menikah ada alasan untuk berhenti kuliah, lebih tidak bisa kuterima. Bagaimana dengan perasaan orang tua. Setidaknya kalau memang keadaan terburuknya udah ga bisa nikmatin kuliah ya hargai sedikit lah pengorbanan orang tua. Lagipula menurutku gak ada yang salah dengan kuliah. Hanya kebiasaanlah yang perlahan-lahan harus diubah, kebiasaan yang menganggap biasa ikhtilat.
Ahhhh, pusing-pusing mikirin itu semua, akhirnya aku membulatkan tekad. Aku harus tetap kuliah, setidaknya agar cepat lulus. Urusan setelah lulus mau ngapain, dipikir nanti aja sambil jalan. Aku tetap kuliah karena aku merasa enjoy dengan kombinasi materi kuliah dan pengajian. Bagiku, keduanya sinkron, membuat aku dapat lebih memaknai hidup, menyikapi hidup. Terserah apa kata orang, toh mereka tidak mengerti apa yang aku rasakan. Terlebih, mereka juga ga pernah sama sekali membiayai hidupku. Aku tetap kuliah. Aku tetap ngaji. Meskipun aku merasa jadi makhluk aneh, seperti hidup dalam dua masyarakat yang berbeda. Masalah ini harus dihadapi dengan easy going tingkat tinggi. Toh aku memang butuh keduanya. Masalah aku diterima atau tidak oleh orang-orang di dalamnya, masalah orang menilaiku apa biar saja ga usah terlalu dipikirin.
Ternyata banyak juga lo yang memberikan komentarnya..
No comments:
Post a Comment