2010/11/13

Jadi Isteri Dungu??

ditulis oleh Embun Biru
Ceritanya, dulu jauh sebelum saya menikah ada seorang teman MAN yang memberi saya buku berjudul "Isteri Penyejuk Hati Suami". Saat itu saya sempat bengong, lha wong saat itu saya masih kelas 2 Aliyah. Teman saya yang memberikan buku itu adalah seorang pria yang dikenal 'dingin' di kalangan gadis sebaya saya. Penampilannya pun berbeda, celananya cingkrang sampai hampir setengah betis, jenggotan, dan di jidat ada stempelnya. Sering penampilannya itu mendapat teguran dari para guru, terutama soal celana agar diturunkan sedikit sampai di atas mata kaki pas. Saya sendiri terus terang juga meski tau tentang hukum celana bagi pria muslim, tapi saya merasa teman saya ini agak berlebihan. Lagipula dilihatnya juga kurang elite saja kalau celana abu-abu dengan ukuran segitu cekaknya. Ya sudahlah...saya khusnudzon saja, mungkin dia sedang bersemangat menjalankan sunnah.


Kembali soal buku yang diberikan itu, saya tanya maksud dia memberikan buku itu pada saya. Dia bilang, "Agar kamu itu tidak terlalu membantah kaum laki-laki!". Hmm...saya jadi ingat, beberapa waktu sebelum itu antara saya dan dia sempat adu argumentasi soal kebijakan baru di madrasah. Saat itu memang ada simpang siur terkait kegiatan ROHIS dan OSIS yang cukup rumit dan internal. Sepertinya teman saya ini termakan issue yang kurang bagus dan dia juga tidak konfirmasi langsung dengan pihak-pihak dewan guru yang memegang bagian kesiswaan. Sedangkan saya termasuk siswi yang dekat dengan beberapa dewan guru. Maka saya pun mencoba menjelaskan dengan se-ilmiyah mungkin pada beberapa pengurus ROHIS dan OSIS yang saat itu berkumpul di masjid sekolah.



Dengan batas hijab antara siswa dan siswi kami mulai rapat. Awalnya hanya pihak putra pengurus ROHIS dan OSIS saja yang rapat, kami dari pihak pengurus putri diperintahkan sekedar mendengar dan mencatat. Tapi sayangnya, bahasan para pengurus putra semuanya tidak valid datanya. Maka saya pun mencoba angkat bicara untuk meluruskan hal yang sebenarnya dengan data-data ilmiyah yang sangat valid yang sudah saya file-kan dari beberapa dewan guru.



Teman saya yang berstempel jidatnya itu agaknya kurang suka saya urun rembug. Terlebih lagi kemudian perhatian peserta rapat ke saya dan tidak lagi menghiraukan informasi dari pemimpin rapat yang datanya hanya kabar daun. Ya soalnya dia datanya di dapat hanya dari selentingan-selentingan saat di kantin, di perpustakaan, yang intinya hanya kabar lalu saja. Sedangkan saya berani menunjukkan data validnya. Hampir saja ketidakvalidan data yang dibawa teman saya itu membuat para pengurus berinisiatif menyerang dewan guru pembina, kan bisa gaswat tuh!



Nah, kembali soal buku yang diberikan si teman saya itu, maka saya pun mencoba berbesar hati untuk membacanya. Sesuatu yang sangat menarik saya temukan, bahwasanya wanita yang bodoh itu lebih baik daripada wanita yang punya pengetahuan luas, kemudian menggurui suaminya. Owh...rupanya dia ingin membuat saya bungkam (dugaan jahat saya). Di dalam buku itu juga dituliskan sebuah kisah tentang seorang wanita yang dungu, tidak pernah sekolah, buta huruf, dan lain sebagainya. Si wanita ini hanya di rumah melakukan pekerjaan dapur, sumur, kasur. Setiap suaminya pulang, dia telah menyediakan teh untuk sang suami, kemudian dengan tulus mendengarkan setiap keluhan suaminya selama seharian bekerja di luar rumah, dan tanpa menyahut sedikitpun keluhan dan juga kisah sang suami. Ketika suaminya bercerita soal kondisi politik negara, kondisi ekonomi, dan berita-berita lainnya. Si wanita ini hanya manggut-manggut saja dan tidak menyahut. Pasalnya, dia sendiri tidak pernah tau dan paham apa yang dibicarakan suaminya! Saat itu, sampai di sini tawaku hampir meledak. Tapi kemudian di kesimpulan cerita itu, dikatakan inilah tipe sebaik-baik wanita. Hmmm...selesai, esoknya aku kembalikan buku itu. Dia menolak, katanya itu buku adalah peringatan bagi saya. Agar terus dibaca berulang-ulang, terutama setelah saya menikah nanti. Sayangnya, saya kurang suka dengan hadiah pemberian laki-laki yang bukan siapa-siapa saya. Dengan tegas saya taruh buku itu di mejanya.



Sekarang, 7 tahun sejak peristiwa itu, saya sempat mengingat tentang kisah si wanita dungu itu. Kini saya sudah menikah dengan seorang mahasiswa Universitas Islam Madinah. Penampilan suami saya, hampir mirip dengan si teman saya saat di MAN dulu. Hanya saja untuk celananya tidak sampai setengah betis, tetapi juga tidak menutupi mata kakinya. Berjenggot, tetapi tidak ada stempel di jidatnya. Terkadang hal penampilan teman saya ini sering menjadi bahasan antara saya dan suami. Terus terang saja saya kurang suka dengan penampilan yang terlalu berlebihan, suami saya pun demikian seleranya. Syukurlah...



Berkaitan dengan buku yang pernah saya baca ini, saya terinspirasi untuk bertanya pada suami saya. Benarkah seorang suami itu lebih nyaman memiliki isteri yang dungu dan tidak berpengetahuan? Sehingga karena kedunguannya itu dia bisa menjadi pendengar yang baik buat suaminya tanpa ada sepatah kata pun?
Suami saya menjawab, "Jadi seperti radio dan pendengar setianya dong?"
"Tapi pendengar setia radio pun masih berinteraktif dengan penyiarnya tuh...", jawabku lagi. Suamiku agak bingung harus menjawab bagaimana. "Kalau saya jadi wanita dungu, gimana menurutmu?", tanyaku.
"Mungkin saya akan kebingungan bagaimana harus berbicara denganmu. Saat ini saja terkadang kamu sedikit agak dungu, hahahahaha...", jawabnya asal dan langsung kabur menghindari cubitan saya.



Saya pun terus berpikir, maka suatu hari saya mencoba untuk bersikap layaknya si wanita dungu dalam cerita itu. Saya tidak membuka percakapan di depan suami saya yang saat itu sedang rehat sejenak setelah seharian menulis di ruang kerjanya. Akhirnya dia yang membuka percakapan, "Nggak ada cerita hari ini?", dia tanya. "Kakak saja yang bercerita, saya dengarkan.", jawab saya kalem. Akhirnya dari mulai membahas tentang tulisannya, tentang pihak penerbitan buku, dan sebagainya, saya terus diam dan hanya manggut-manggut. Karena nggak tahan nggak mendapat tanggapan, dia pun berhenti berceloteh dan bertanya pada saya, "Kamu kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa, aku hanya ingin mencoba menjadi isteri yang menyejukkan hati."

Suami saya mengerutkan dahi karena kebingungan. "Tapi saya lihat kamu justeru terlihat dungu. tau nggak apa yang saya bicarakan tadi? Kenapa kamu nggak menanggapi?"
Saya bilang, "Kalau saya jawab saya tidak paham bagaimana?". Mendengar jawaban ini, suami saya kemudian menyentuh dahi saya dengan punggung tangannya.

Kami pun tertawa bersama. Setelah itu saya bercerita tentang uneg-uneg saya semasa di madrasah dulu. Suami saya memasang raut wajah perihatin kemudian bertanya, "Dalam kisah itu, ada ceritanya bagaimana kemudian kisah si isteri mendidik anak-anaknya nggak?", kujawab tidak.

Suamiku bilang, "Syukurlah...kalau sampai ada anak-anaknya, betapa kasihan nasib anak-anaknya...", dan berakhirlah diskusi kami karena hari sudah larut. Pernyataan terakhir suami saya terdengar di telinga sya begini, "Sebaik-baik wanita adalah yang memiliki kecerdasan dalam menyenangkan hati suami dan kecerdasan mendidik anak-anaknya!"

1 comment:

Anonymous said...

kata-kata terakhir dari tulisan ini keren banget mb "Sebaik-baik wanita adalah yang memiliki kecerdasan dalam menyenangkan hati suami dan kecerdasan mendidik anak-anaknya!"

Post a Comment