2010/12/07

BU NYAI YANG TAWADHU


by Jazimah Al-Muhyi on Sunday, November 21, 2010 at 1:14pm

Bu Nyai Nikmah atau Bu Nik. Hanya itu yang saya tahu. Nama panjang, atau nama lengkapnya, saya tak tahu pasti. Yang jelas, beliau adalah istri K.H. Abdur Rozak, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Falah yang beralamat di Tegalrandu, Srumbung Magelang. Sebuah pesantren yang terletak di kaki gunung Merapi.

Hafidzoh berputra-putri enam orang itu terkenal amat sederhana dalam penampilan, bersahaja dalam kehidupan. Meskipun konon kabarnya, beliau adalah putri seorang bangsawan di Jepara. Awal mula menikah, harta yang dia bawa dari rumah, perhiasan yang dipakai, diserahkan pada sang suami untuk biaya membangun pesantren. Sampai sekarang, meski bangunan bertingkat pesantren telah berdiri megah dengan ratusan santri di dalamnya, tak satu pun perhiasan yang umumnya menjadi kebanggaan kaum perempuan melekat di tubuhnya. “Daripada untuk beli kalung, lebih baik untuk beli semen!” Begitulah yang beliau pernah katakan (dari cerita santri senior). Dan saya pun lalu teringat Bunda Khadijah, sang pendukung utama suami di dalam dakwah.

Di tengah iklim pengkultusan yang melanda hampir semua pesantren salafiyah, Kyai dan Bu Nyai yang umumnya diperlakukan sebagaimana raja dan ratu oleh para santrinya, sosok Bu Nyai Nikmah benar-benar istimewa. Beliau tak menyukai penghormatan berlebihan. Bila ada santri berjalan jongkok/ berjalan dengan lutut di depannya, maka beliau akan menegur, lantas menyuruhnya berdiri. Bila pada umumnya pesantren, menatap wajah pengasuhnya dianggap su’ul adab, berdiri sama tinggi dengan pengasuh saja dianggap su’ul adab, maka di pesantren Nurul Falah berdiri di depan Bu Nyai yang sedang duduk adalah hal biasa.

Kepada putra-putrinya pun, para santri tak dikondisikan memanggil Gus atau Ning.  Cukup Mas, Mbak atau Dik. Bahkan ada juga yang hanya memanggil nama tanpa embel-embel. Bagi yang belum tahu hawa kental pengkultusan di rata-rata pesantren, fakta ini mungkin tak terlalu istimewa. Namun bagi mereka yang terbiasa serta merta jongkok sembari menundukkan kepala saat Kiai atau Bu Nyainya lewat, realita ini pasti merupakan cerita yang sangat mengejutkan.
Bu Nyai Nikmah, putri orang kaya, yang sebelum menikah tak pernah kenal pekerjaan rumah tangga, bahkan saat tinggal di pesantren pun ditemani satu orang pembantu untuk mengurus segala keperluan, sering saya lihat bergabung di dapur dengan para santri. Terutama saat ‘berhalangan’. Belajar memarut kelapa, membuat roti, membuat es lilin, atau sekadar meracik bumbu-bumbu.

Tak cuma itu. Bu Nyai Nikmah tak segan mencuci sendiri bekas ompol putri bungsunya, mencuci perkakas dapur berukuran besar yang penuh jelaga, mengiris lompong untuk memberi makan ikan di kolam, juga mencebur ke sungai untuk menyingkirkan kotoran yang menyumbat saluran air. Padahal, kalau beliau mau, sangat mudah untuk memerintah santri-santri yang pasti akan segerasendiko dhawuh. Para santri yang ingin ‘ngalap berkah’ dari Kyai dan Nyainya. Apalagi ada hampir seratus santri yang tinggal di pesantren tanpa dipungut biaya sama sekali, di samping ratusan santri lainnya.

Dalam masalah ini beliau punya prinsip sendiri, “Mereka dikirim ke pondok oleh orang tuanya untuk ngaji, bukan untuk saya suruh-suruh.” Prinsip itu juga beliau terapkan pada putra-putrinya. Tak jarang beliau marah jika salah seorang putranya ketahuan menyuruh santri membantu keperluan pribadi. Misalnya, menyuruh membuat mie atau nasi goreng.

Selain itu, beliau juga tak pernah membedakan tamu-tamu yang datang sowan. Bermobil, berkendaraan roda dua, maupun jalan kaki, akan mendapat tanggapan yang sama. Begitu pula perlakuan terhadap para santri. Santri yang putra Kiai, santri putra pejabat, maupun santri anak orang kebanyakan diperlakukan sama. Tak ada pembedaan.

Akrab, hangat, santai, penuh humor... begitulah cara beliau berkomunikasi dengan para santri. Dekat, cinta, sayang, hormat... begitulah perasaan para santri putri kepada Bu Nyai Nikmah. Beliau yang tak segan berbaring di kamar santri untuk minta dipijit sambil bercerita dan berpetuah banyak hal.

Menyaksikan wajah teduh Bu Nyai Nikmah, memudahkan saya membayangkan Rasulullah, para sahabat, dan para generasi terdahulu. Mereka yang membangun kemuliaan, memperoleh kewibawaan dengan ketawadhuan, bukan dengan singgasana bertahtakan permata, bukan dengan arogansi, dan bukan pula dengan penghormatan yang dikondisikan atau bahkan dipaksakan.
Menyaksikan wajah Bu Nyai Nikmah ... tak jarang membuat saya semakin rindu pada Rasulullah.

No comments:

Post a Comment