2010/11/19

Bukan Tidak Boleh, tetapi Seperlunya Saja

dari note Kasih Sayang Allah Saat Menegurku... by Embun Biru on Wednesday, November 17, 2010 at 9:54pm

Beberapa waktu lalu saya membuka-buka peti harta karun yang banyak menyimpan buku-buku bacaan saya sejak masa SMP hingga awal kuliah. Bongkar-bongkar, berniat mencari buku referensi untuk bahan pendukung penulisan novel yang sedang saya garap. Entah kenapa, tiba-tiba saja mata saya terpikat dengan sebuah buku hijau bermotif batik yang bertuliskan 'MY DIARY'. Hmmm...niat saya mencari buku referensi pun sejenak terlupakan, berganti dengan keinginan membuka kembali buku hijau itu. Saya buka-buka lembaran demi lembaran yang telah hampir usang, ternyata itu buku harian saya semasa SMA hingga awal kuliah. Menelusuri kisah demi kisah, mata saya pun terpikat dengan catatan pengalaman saya saat berkunjung ke beberapa orang yang menjadi penyemangat prinsip saya.

Salah satu kisah di antara beberapa kisah adalah saat saya berkunjung ke rumah seorang Ustadz di tahun 2006 dulu bersama beberapa teman liqo' saya (saat itu saya masih ikutan liqo' tarbiyah). Kami bertemu dengan isteri Ustadz beberapa saat sebelum akhirnya bisa bertemu dengan Ustadz untuk mendapat sedikit wejangan sebagai penyemangat. Di akhir acara silaturahim, kami yang saat itu hanya berlima, tiba-tiba mendapat bingkisan dari Ummi (isterinya Ustadz), masing-masing mendapatkan satu bingkisan. Belum sempat kami menjawab, Ummi sudah bilang duluan, "Itu sekedar hadiah kecil dari saya. Satu stel gamis dan jilbab, tapi maaf hanya bekas, jadi silahkan dilihat dulu, kalau tidak berkenan bisa untuk ditinggal saja atau tolong sampaikan kepada yang lain yang menurut antunna lebih membutuhkan."

Kami pun mencoba melongok isi bingkisan tersebut. Subhanallah, satu set jilbab dan gamis yang masih sangat bagus. Saat itu teman saya bilang, "Ini mah bukan bekas, Ummi...tapi baju baru sekali dipakai...lha memangnya kenapa dikasih pada kami, Umm?".

"Begini, harta itu khan kelak ada pertanggungjawabannya di akhirat. Nah, kemarin itu Ummi baru saja mendapatkan hadiah dari seorang teman satu stel gamis dan jilbab. Prinsip Ummi, kalau ada orang ngasih hadiah baju baru, maka baju lama Ummi meskipun masih bagus maka akan Ummi kasihkan ke orang lain, biar baju-baju itu tidak menumpuk sebagai harta yang ditimbun, yang kelak harta yang ditimbun itu justeru akan memberatkan timbangan kita di akhirat."

Kami pun hanya mampu bertasbih...dalam hati aku berazzam untuk meneladani prinsip Ummi ini.

Hingga waktu bergulir, kini aku telah menikah. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat ditawari suami untuk memakai beberapa perhiasan. Terus terang saja, sebenarnya saya kurang suka pakai pernak-pernik begituan. Selain terkesan glamour juga saya ini alergi sama jenis logam-logaman. Awalnya sewaktu menikah dulu saya dihadiahi sebuah cincin emas, waktu itu sebelumnya saya sudah memperingatkan agar berat gram-nya tidak lebih dari 3 gram. Karena tidak ada yang beratnya tepat 3 gram, maka sama suami saya dibelikan yang 2,9 gram. Cincin itu pun agak jarang saya pakai karena jari saya terasa gatal.Beruntung saya mendapatkan suami yang open mind, termasuk ketika ingin memberi saya hadiah, dia pun bertanya dulu bagaimana selera saya. Bagi saya, nilai keistimewaannya bukan pada sureprice-nya, tapi dari tatapan matanya yang penuh kasih saat memberikan hadiah itu. Lagipula, ketika hadiah yang mau diberikan didiskusikan dulu, insya Allah akan lebih bermanfaat. Soalnya saya juga melihat beberapa kasus ada suami memberikan sureprice pada isterinya sebuah baju mahal yang sering dipakai para artis, ternyata nggak muat karena sebelumnya tidak ada musyawarah soal ukuran body. Malah jadi mubazir khan...

Setelah cincin, suatu kali saya dan suami membahas tentang beberapa sunnah yang dilupakan wanita. Salah satunya adalah melubangi daun telinga (tindik). Itu berarti salah satu sunnah tabaruj yang hanya bisa diperlihatkan pada suami dan mahram. Telingan saya memang pernah ditindik saat TK dulu. Pernah dipakaikan anting-anting sama Mama saya. Tetapi anting-anting itu tak pernah bertahan nyantel di telinga saya. Masalahnya ternyata saya alergi dengan jenis logam meskipun itu emas. Daun telinga saya justeru benyek dan bernanah, maka akhirnya anting pun harus dilepas. Suami saya mengusulkan jenis perak, saya tetap tak berani bertindak. Tapi sepertinya suami saya suka saya memakai anting, akhirnya saya pun memilih anting seharga Rp 1000,- yang bahannya dari plastik. Alhamdulillah tidak benyek telinga saya dan akhirnya telinga saya pun bisa beranting juga.

Sampai di sini, saya tiba-tiba merasa terlena. Saya melihat sepertinya suami saya sangat suka saya berhias untuknya. Hingga suatu kali saya melihat sebuah iklan kalung perak di sebuah majalah. Hmmm...fitrahnya mata wanita, mupeng deh! Saya terlupa dengan alergi saya sama logam. Maka saya pun minta izin suami untuk beli kalung perak seharga Rp 50.000,- itu. Tapi suami masih menahan, dia mau lihat modelnya dulu. Maka saya kasih gambarnya, ternyata dia tidak cocok dengan model liontinnya. Memang begitulah, apa yang ingin saya pakai adalah yang sedap dipandang mata suami, ini WAJIB! Akhirnya dia bilang, "Nanti saya belikan saja, insya Allah."

Beberapa waktu berlalu, suami saya belum berkesempatan mampir ke toko perhiasan. Hingga saya menemukan buku harian saya itu. Hingga saya kembali membaca kisah pertemuan saya dengan si Ummi yang memberi saya satu stel gamis itu. Air mata saya bercucuran, bagai ada semacam suara berteriak di telinga saya, "KETIKA KAMU SUDAH BERAZZAM, MAKA BERTAWAKAL LAH KAMU KEPADA ALLAH!". Makna tawakal di sini saya artikan sebagai bentuk teguran kepada saya yang mulai terlena dan hendak berusaha mengejar dunia, naudzubillah...

Bergegas saya SMS suami yang saat itu tengah berada di kampus; "Ustadz, saya nggak mau dan nggak kepengen kalung lagi. Saya juga nggak ingin perhiasan apapun lagi. Saya takut semua itu kelak akan menjadi pemberat saya di akhirat."
Badan saya menggigil membayangkan kelak di akhirat harta benda yang saya punya hanya karena saya kepingin memiliki saja (bukan sebuah kebutuhan), kelak akan menjadi besi-besi yang memberatkan langkah saya ke surga. Sebagaimana sabda Rasulullah pada seorang sahabat yang masuk surga dengan merangkak karena terlalu banyaknya harta bendanya di dunia.

Sampai saya menuliskan catatan ini, masih ada sisa air mata penyesalan dari keterlenaan saya. Saya merasa kalah telak ketika mengingat azzam yang telah saya pancangkan. Allahummaghfirlii...
Semoga catatan ini bisa kembali mengingatkan kita semua akan idealisme yang pernah kita bangun dulu dan semoga tak akan lagi hati ini terlena dengan gemerlap dunia yang memanjakan...
Alhamdulillah...betapa saya merasakan kasih sayang Allah begitu dekat dengan peringatan yang amat lembut ini...
Alhamdulillahiladzi bini'matihi tatimusholihat...alhamdulillah 'ala kulli hal...

No comments:

Post a Comment