2010/11/19

FOR LAJANGWAN & LAJANGWATI: ADU NYALI, ADU BERANI!

ditulis oleh Jazimah Al Muhyi


Pernikahan adalah pertemuan dua kekuatan untuk saling bersinergi di dalam perjuangan. Begitulah yang kuyakini. So, pernikahan adalah pintu gerbang menyongsong tanggung jawab yang sangat berat. Perjanjian agung di hadapan Allah. Mitsaqon ghalidzo. Sangat berat dan oleh karenanya memang diperlukan keberanian dari pelakunya, baik yang laki-laki maupun perempuan.

Apa aku punya keberanian yang hebat sehingga menikah? Sebenarnya gak gitu berani sih. Cuma, aku takut terbuang dari golongan Rasulullah. Itu aja. Hadist yang diriwayatkan Imam Thabrani kan nyindir aku dengan telak. “Barangsiapa takut hidupnya terkungkung setelah menikah lalu tidak menikah, dia tidak temasuk golonganku.” Huwaaa, takuuut. Jadi, aku nikah dengan memberani-beranikan diri.



Dulu pernah nanya ke Ustadz. ”Saya sudah sholat hajad, udah berdoa terus biar jodoh cepet datang. Tapi kok gak datang-datang juga.” Jawab Ustadz, “Barangkali doanya kurang serius. Kalo mintanya gak sungguh-sungguh, bagaimana bisa dikabulkan?”



Pikir punya pikir, iya juga ya. Kadang keinginan nikah kuat menghentak, tapi kadang khawatir, takut, cemas. Ntar kalo nikah trus … waaah, kebayang yang enggak-enggak tentang kehidupan rumah tangga. Apalagi teman-teman yang udah lebih dulu nikah banyak yang curhat ke aku. Masalah sama suami lah, sama mertualah. Waduuuh. Udah gitu, gambaran rumah tangga di sekelilingku banyak yang tak cuma buram, tapi hitam legam. Banyak KDRT!


Ditambah lagi aku udah asyik nulis. Asyik sibuk. Ntar kalo udah nikah trus gak bisa ngumpul bareng teman-teman gimana. Ntar kalo begini gimana, ntar kalo begitu gimana. Ya, sebenarnya aku pun sangat takut. Tapi ketakutan terbuang dari golongan Rasul lebih besar. Jadilah hal itu mendorongku untuk lebih serius berdoa minta dipertemukan dengan jodoh. Ya, berdoa minta cepat ketemu jodoh pun bagiku butuh keberanian besar. Ya, aku akan ikhtiar lebih keras untuk nikah. Meski harus ‘nembak duluan’. Yap, akhirnya nembak duluan.Resikonya kalo ditolak memang agak nggak enak, tapi gak papa lah. Namanya juga usaha. He he

Jadi, keberanian untuk segera nikah bukan hanya harus ada pada lajangwan, melainkan lajangwati. Kalian tahu apa yang paling membuatku takut menikah? Keharusan taat pada suami! Waah, ntar suaminya kayak apa ya. Kalo kayak diktator gimana. Kalo suka main perintah gimana. Mati kaku dah gue. Astaghfirullah, kok jelek betul pikiranku. Inilah akibat kebanyakan makan hasutan kaum feminis. Nis nis feminis, kalian semoga cepet insyaf ya, biar gak lagi-lagi bikin statement-statement yang bikin para lajangwati ogah nikah, males nikah, takut nikah.

Lajangwan takut nikah karena apa? Dari jawaban beberapa orang, rata-rata ketakutannya berkaitan dengan ketidaksiapan finansial. Tidak yakin si istri mau diajak hidup susah. Jadi ingat suamiku. Dia yang jujur menyampaikan keadaannya. Dia yang tak menjanjikan hal-hal muluk padaku. Dia yang justru mengajakku ’menderita seutuh usia’. Tapi aku terima. Karena prinsipnya untuk tidak mau jadi PNS cocok denganku yang tidak ingin punya suami PNS. Menderita seutuh usia, tentu bukan ajakan untuk tinggal di gubuk derita selamanya atau makan sepiring berdua, melainkan janji konsistensi untuk memikirkan umat, bangsa dan negara (Insya Allah).



Jadi intinya opo sih? Jujur saja dengan keadaan diri. Jujur sama yang mau dinikahi. Kalo sama keluarganya ya harus tampil sangat percaya diri, meski tidak pula perlu mengobral janji. Tidak masalah kukira lajangwan bilang gini, ”Per bulan pemasukanku segini. Untuk ini segini, untuk itu segitu. Jadi, per bulan uangku tinggal segini, kamu mau tidak menikah denganku dalam kondisiku yang seperti sekarang?”

Tentang keluarga besar yang (dikhawatirkan) saling tidak cocok?

Sepertinya pernikahan adalah salah satu cara Allah untuk ’menyatukan perbedaan’. Agar manusia bisa memandang kehidupan dari sudut pandang yang lebih lengkap. Cobalah dipikirkan, mengapa pernikahan itu harus laki-laki sama perempuan? Tidak boleh sejenis? Harus dengan orang lain, tidak boleh dengan saudara kandung? Bukankah itu isyarat bahwa pernikahan adalah memang sebuah jalan untuk bisa belajar mengenai perbedaan, belajar kompromi dan melakukan harmonisasi?

Gambaran tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga seringkali menampilkan dua sisi yang ekstrim. Satunya penuh cinta dan kebahagiaan. Satunya lagi penuh air mata dan penderitaan. Simaklah kalimat-kalimat berikut yang saya ambil dari status seseorang. “Married is full of excitement and frustration. In the first year, the man speaks and the woman listens. In the second year, the woman speaks and the man listens. And in the third year, they both speak and the neighbors listen.”

Yap, tahun-tahun awal pernikahan memang laksana berjalan di atas bara alias episode ‘Sabrang Mowo’ (Sori Noe pinjem namanya, he he). Episode lintas badai! Aku pun begitu. Nangiiis terus kerjaannya. Bingung. Lha kok begini, lha kok begitu. Temenku malah ada yang bilang kalo di tahun-tahun awal pernikahannya yang kepikiran cuma ‘mau cerai, mau cerai, mau cerai’. Jadi ingat sebuah perkataan, ’Pernikahan itu sebuah pintu yang aneh. Yang di luar ingin masuk, sementara yang sudah di dalam malah ingin keluar (ini kayaknya kalimat propanganda dari pihak-pihak yang anti sama lembaga pernikahan)

Aku kerap dilanda bingung. Suamiku pun, aku yakin tak kalah bingung. Bingung menghadapi aku yang kerap mbingungi dan nangisan (dikit-dikit mewek). Aneh memang. Di masa lajang aku merasa bahwa aku ini mujahidah yang sungguh tegar dan tabah di jalan dakwah. Sesudah nikah kok baru sadar kalo aku ini cuma perempuan lemah yang gampang menyerah. Tapi karena aku nikah dengan minta pertimbangan Allah, dengan semangat agar tak terbuang dari golongan Rasul, maka sambat sebutku pun kutujukan pada Allah. Nyebuuut terus. Berdoaaa terus.

Alhamdulillah, perlahan-lahan badai pun berlalu, he he

Ketika diri yang lemah ini bersandar pada DIA yang Mahakuat, maka tapak kaki yang semula seolah sudah tak sanggup lagi melangkah, menjadi kembali kuat dan bahkan sanggup untuk berlari. Jadi, pliis deh, jangan takut menikah. Niatkan karena Allah, nanti Allah pasti bantu. Allah yang kokohkan. Tanyalah pada orang-orang yang sudah menikah. Kebanyakan juga modal awalnya nol bahkan minus. Jarang sekali yang langsung mapan apalagi kaya raya. Tapi kan Allah sudah berjanji untuk mencukupkan rezeki. Asal mau minta, asal mau bertaqwa. Simpel, kan?

Memang keberanian bukan sikap terburu-buru yang tanpa pertimbangan tanpa perhitungan. Tetaplah berhitung, tetaplah berjaga-jaga, namun segeralah melangkah. Aku yang dulunya anak manja, tukang nangis bin mutungan (mudah ngambek) ini pun akhirnya ... alhamdulillah ... berani dan bisa kok. Apalagi kalian-kalian yang bukan anak manja, tukang nangis dan mutungan. he he

(Lajangwan, lajangwati ... semoga cepet ketemu jodoh yang menjadi penentram jiwa, melangkah bersama menuju ridho-Nya, berjuang bersama menggapai surga. Amiiin.)

No comments:

Post a Comment