2010/11/20

Harus Lulus Dulu


Mungkin sebagian akhwat pernah merasakan kesal dikarenakan syarat lulus sebelum mendapatkan SIM (Surat Ijin Menikah). Anyway bus way, seiring berjalannya waktu hal ini sekarang malah menjadi sangat logis -setidaknya bagiku-. Setiap orang memiliki kondisi dan kebiasaan yang berbeda. Pun dengan setiap keluarga, mesti punya nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Dan mengenai kondisi seorang anak,-menurutku- ortunyalah terutama ibunya yang paling mengerti (semestinya begitu).

Mari kita sejenak berhitung. Bila diasumsikan, seseorang hidup mandiri (baca: terpisah dari ortu) karena kuliah di luar kota misalnya, selama 4 tahun. Dengan asumsi usia 17 tahun mulai kuliah dan di tahun kedua mulai giat mengaji berarti sekitar umur 18 tahun seseorang dianggap memulai perubahan besar dalam hidupnya dengan proses selama kurang lebih 3-4 tahun. Sah-sah saja bila kita mengatakan, "aku sudah berubah", "bukan anak kecil lagi", "ibu bapak aja ga tau kalau sekarang aku bukan yang dulu lagi". Akan tetapi, kembali kepada hitung-hitungan tadi, 3 tahun tidaklah sebanding dengan 17 tahun yang telah berlalu. Belum lagi menurut psikologi perkembangan, watak dan karakter itu dibangunnya ketika masih anak-anak. Kata temanku, di sebuah kajian pagi pernah disebutkan, "watuk iso ditambani tapi watak angel dibenakke" (saya agak lupa redaksi lengkapnya)

Beda orang, tentu saja beda kondisi. Orang bersangkutanlah -setelah Allah- yang paling tau keadaannya sendiri. Permasalahannya adalah, tidak banyak yang bisa mengukur dan memahami diri secara obyektif/adil. Kebanyakan manusia telah dikuasai ego sehingga idealisme yang membumbung tinggi kadang tidak sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya. Maka, -lagi lagi menurut saya- di sinilah fungsi orang tua dan keluarga sebagai lingkungan yang semestinya paling utama dan pertama bagi seseorang. Maksud saya begini, dalam hal SIM ini jika memang orang tuanya lebih menyukai untuk dirinya lulus dulu dan sulit untuk diganggu gugat, turuti sajalah, selama masih bisa bersabar dengan puasa atau hal-hal bermanfaat lainnya. 

Jangan takut ga laku setelah jadi sarjana, atau takut dikucilkan karena tidak mengikuti keumuman. Toh kita menikah bukan karna ini dan itu melainkan dalam rangka ibadah. Salah-salah karena menganggap kita melakukannya atas nama kekokohan iman, malah hubungan dengan ortu jadi hancur berantakan. Apalagi, sampai memaksakan diri berhenti kuliah. Ga sedikit, yang ketika sudah nikah menyesal tidak menyelesaikan pendidikannya. Prinsipnya sederhana saja (meskipun memang ini sangat sulit realisasinya), lakukan yang terbaik apa yang sedang kita jalani/hadapi dan berusahalah agar masa depan menjadi lebih baik. Jangan sekali-sekali deh memulai proses (bahkan sekedar mengumpulkan biodata) tanpa sepengetahuan orang tua, terutama ibu kita. Lagian nih, sedikit bocoran ya, ga sedikit kok ikhwan yang gak suka sama akhwat yang putus kuliah dengan alasan ngaji.

No comments:

Post a Comment