2010/11/20

Saya Sesuai Selera Suami Saya

oleh Embun Biru on Friday, November 19, 2010 at 8:20pm

Sudah terbayangkan dalam benak saya sebuah beban berat ketika harus menyandang status 'tokoh' dalam masyarakat. Meski bukan saya yang menjadi 'tokoh' tersebut, tetapi menjadi anak seorang tokoh atau isteri seorang tokoh, seringkali justeru menjadikan seorang kehilangan jati dirinya. Dulu, di depan nama saya tercantum gelar Raden Roro (Rr), gelar yang saya dapat dari nasab Bapak dan Mamah yang masih keturunan kesultanan di tanah Jawa. Terus terang saja, saya yang saat itu masih berusia SD dan membutuhkan berbagai macam gaya untuk berekspresi, merasa agak terganggu dengan gelar itu. Setiap saya melompat sedikit saja pasti ada yang komentar, "Puteri kerajaan kok pethakilan (usil).".Hufff...benar-benar saya kehilangan ekspresi saya!

Maka setiap pulang sekolah pun saya pasti uring-uringan. Ujung-ujungnya, saya minta gelar itu dihapus dari nama saya dan saya tegaskan pada rakyat sekitar kalau saya sudah bukan puteri kerajaan lagi. Bapak yang sudah nggak tahan dengan uring-uringan saya pun segera mengurus akta kelahiran saya untuk menghilangkan gelar Rr. Sejak itu setiap ada yang komentar, saya bilang kalau saya sudah berlepas diri dari trah bangsawan. Saya pun jadi bebas berekspresi kembali.

Begitu masuk SMP, saya pun sudah berjilbab. Lagi-lagi...saya kembali menghadapi ujian mental. Saat itu saya berjilbab karena memang sudah adat kebiasaan di rumah, anak wanita yang sudah baligh harus berjilbab. Tetapi pada kondisinya, lingkungan sekitar sekolah menuntut saya untuk menjadi seorang jilbaber yang berlaku layaknya puteri kerajaan. Harus lemah lembut, kalem, santun, jalan harus pelan-pelan, dan lain sebagainya yang semua aturan yang dituntutkan pada saya itu sangat membuat saya stress. Waktu saya masuk klub basket, kakak-kakak kelas yang jadi pengurus waktu itu hanya bengong dan memandangi saya dari ujung kepala hingga ujung sepatu. Pada akhirnya, saya pun tetap masuk dalam klub basket dan alhamdulillah sempat meraih juara pertandingan antar SMP di kota saat itu. Saya adalah satu-satunya peserta yang berjilbab! Selain itu pun, saya mengikuti latihan beladiri yang bermanfaat juga saat saya harus membela izzah jilbab saya yang waktu itu disiram air got oleh seorang kafir. Serta merta saya menghajarnya!

Semakin dewasa saya paham bahwasanya saya adalah seorang yang agresif dan ekspresif. Hingga di saat SMA saya mengenal dakwah Salaf, namun di sisi lain dalam keluarga besar saya adalah aktifis dakwah tarbiyah. Maka saya pun mengambil dua sisi tersebut. Hingga telah duduk di bangku kuliah tahun 2006, saya pun tak lelah mencari, di sisi mana ekspresi jiwa saya akan lebih nyaman. Akhirnya di tahun 2007 saya pun memutuskan, dakwah Salaf yang saya pilih.
Benar saja, di zona ini saya merasa lebih mengerti realitas kehidupan dan bagaimana saya harus menghadapinya sesuai dengan syari'at. Tidak perlu banyak mengkonsep ideologi yang melangit namun kemudian rapuh ketika harus berbenturan dengan realitas kehidupan. Saya jalani saja apa yang diperintahkan dalam Al Qur'an dan sunnah Rasulullah, saya merasakan lebih realistis dalam berekspresi.

Hingga kemudian di tahun 2009 oleh Ustadz yang selama ini nasehatnya banyak saya dengarkan, saya dipertemukan dengan seorang Ustadz yang belum menikah. Awalnya saya sempat galau dan bimbang, terlebih lagi saya hanyalah seorang akhwat yang sedang berusaha menjadi pintar. Terus terang saja, kemampuan saya membaca kitab tidak sebaik akhwat-akhwat Salaf pada umumnya. Bisa dibilang, kitab yang bisa dengan baik saya baca dan sya pahami isinya hanya kitab Al Qur'an. Hafalan Al Qur'an saya pun tidak lebih dari separuh Al Qur'an. Tapi bagaimana lagi, Ustadz tersebut sudah menjatuhkan pilihannya. Beliau tak peduli ketika saya sempat menuai cecar, "Kok bisa sih orang kayak dia dipilih Ustadz? Yang kayak kita saja kagak berani ngimpi diperisteri Ustadz."

Saya sih enjoy saja, terus terang saya memang pernah bercita-cita mempunyai seorang suami Ustadz. Itu juga doa yang sering saya pesankan sama orang tua. Kenapa saya berani meminta bersuamikan Ustadz? Kan katanya kalau doa itu nggak boleh tanggung-tanggung, sebagaimana ketika kita minta surga sama Allah ya minta surga firdaus sekalian. Sebab Allah nggak akan mencela para hamba-Nya sebagaimana manusia yang gampang memandang rendah manusia lainnya. Alasan saya minta bersuamikan Ustadz saat itu karena kemampuan belajar saya yang agak terbatas. Bagi saya belajar kitab sama dengan belajar matematika, butuh waktu lebih dan suasana privat bagi saya. Kalau saya privat sama Ustadz-Ustadz yang tidak halal kan bisa geger sama isterinya.

Ustadz sudah menjatuhkan pilihan dan saya tidak punya alasan untuk menolak. Tapi di depan saya bilang sama beliau, "Saya ini hanya seorang wanita biasa, yang nggak ngerti ilmu hadits, yang nggak ngerti cara baca kitab, yang nggak ngerti konsep-konsep nahwu-shorof itu kayak apa. Saya hanya muslimah biasa yang sekedar mengaplikasikan nasehat apa yang saya dengar ketika para ahli ilmu membacakan saya tafsir Qur'an dan hadits. Saya ini orangnya realistis saja."

Beliau menjawab, "Saya tidak butuh wanita yang hafal ratusan hadits dan hafal ratusan kitab Salaf, tetapi dia tidak bisa mengaplikasikan ilmu yang dia punya. Saya hanya butuh wanita yang mengerti dengan realistis bagaimana cara berbakti sama suami, yang tau bagaimana menasehati suami. Tanpa harus keminter menyitir dalil dan lain sebagainya. Saya hanya butuh kamu tidak menyekutukan Allah, kamu shalat, kamu bisa ngaji Al Qur'an, kamu berhijab dengan rapi, dan selebihnya kamu pinter urusan rumah tangga."

Saya mencoba bertanya lagi, "Bagaimana nanti dengan persoalan muamalah? Tuntutan sebagai seorang isteri Ustadz?"
Beliau menjawab, "Yang penting kamu nggak sombong sama tetangga, ramah sama ibu-ibu di lingkungan tempat kita tinggal, kalau pun ada yang bertanya soal agama, katakan saja tidak tau kalau memang kamu tidak tau, dan tanyakan pada saya kalau itu persoalan penting yang harus disampaikan pada masyarakat. Tidak usah sungkan, Rasulullah tidak pernah memerintahkan 'Aisyah yang secerdas itu untuk ngajarin baca kitab ke tetangganya, tapi yang ditekankan adalah bagaimana seharusnya bermuamalah dengan baik sama tetangga. Saya harap kostum kamu yang syar'i itu tidak membuat takut masyarakat sekitar, tapi sebaliknya. Jadi realistis sajalah dalam bermasyarakat. Dan satu hal yang mesti dipegang, jangan gila hormat meski suatu saat saya dikenal sebagai tokoh masyarakat!"

Alhamdulillah...saya pun tak perlu kehilangan identitas jati diri saya sebagai diri saya sendiri...
Maka kalau ada yang menuntut saya begini dan begitu, saya ini hanya isteri Ustadz sekaligus muridnya si Ustadz. Bagi yang sering SMS dan kirim inbox terkait fiqh dan aqidah, itu adalah jawaban Ustadz, saya hanya menyampaikan yang seharusnya disampaikan. Jadi, maaf...saya manut sama suami saya saja untuk menjadi diri saya apa adanya...

No comments:

Post a Comment