2011/01/03

Saat Kau Genggam Erat Tanganku Menggapai Surga


by Izzati Syahidah on Friday, December 10, 2010 at 6:41pm


Memiliki pribadi dasar temperament bukanlah sesuatu yang saya harapkan, untuk itu saya ingin mencoba melibasnya. Tetapi kata banyak orang, karakter dasar itu memang susah untuk dihilangkan, minimal dipermak sajalah. Saya pun terus mencoba berbagai macam hal untuk meredam sifat temperament saya, tak pernah menyerah saya mencari terapi untuk 'menyembuhkan' sifat dasar yang negatif ini. Dari mulai rutin shalat sunnah malam, shalat duha, banyak membaca dan mendengarkan Al Qur'an, membaca kisah-kisah orang shalih, dan banyak lagi lainnya.

Oya, ikhtiar ini mulai saya lakukan sejak kelas 2 Aliyah. Waktu itu, saat saya menjabat menjadi ketua kelas, saya gampang naik emosi melihat ketidakteraturan teman-teman saya di kelas, terutama yang laki-laki. Hingga terjadi sebuah insiden yang membuat saya sangat marah pada seorang teman laki-laki yang dikenal sebagai trouble maker, saking marahnya saya sampai membanting meja di hadapan saya untuk membuatnya terdiam. Sejak itu memang si trouble maker menjadi surut nyali melawan saya, tetapi sebuah surat kaleng berhias bunga-bunga mampir ke laci meja saya. Dari salah seorang teman laki-laki yang sangat pendiam di kelas saya, namun diam-diam dia menaruh hati pada saya. Dia bilang begini; 'Seharusnya kau bisa menjadikan kelas ini serasa surga, tapi jiwa Kurawa-mu telah menjadikan kelas ini bagai neraka. Kukira kau seorang bidadari, nyatanya kau bahkan lebih menyeramkan daripada singa betina yang telah menggoreskan luka di hati yang mencintaimu.'


Di karenakan kondisi kelas masih memanas dan saya juga merasa tersinggung dengan surat itu, maka tambah marah saya sama lelaki pendiam itu, "AKU TAK BUTUH CINTAMU, KELINCI JANTAN!", dan dia menangis. Laki-laki yang menangis karena kata-kata kasar saya! Sejak itu, saya merasa sangat bersalah dan malu pada status muslimah yang saya sandang. Kadang saya merasa ragu dengan jilbab lebar yang saya kenakan, atau gamis-gamis syar'i yang saya miliki. Rasa bersalah itu pun membuat saya menjadi ketua kelas yang sangat dingin dan ditakuti. Karakter ceria saya hilang...dan salah seorang sahabat saya pun bilang telah merasa kehilangan.
Sejak itu, SAYA SELALU INGIN BERUBAH!

Maka saya putuskan untuk mengambil study di Jogja. Kabarnya budaya Jogja itu sedikit banyak turut membentuk karakter manusianya. Tinggal kita pilih, mau jadi pribadi positif atau negatif. Kalau yang mau jadi baik ya insya Allah akan jadi baik, dan kalau mau jadi bengal ya bisa sepenuhnya menerjuni dunia preman. Dan saya pun pilih yang pertama. Untuk itu begitu sampai ke Jogja, saya berusaha mencari komunitas yang berhati nyaman dan lembut, sebagaimana slogan Jogja; BERHATI NYAMAN. Dari wisma muslimah yang satu ke wisma muslimah yang lain. Awalnya saya masuk wisma muslimah aktifis siyasah (KAMMI), saya merasa tidak nyaman dikarenakan akhwat di wisma itu garang-garang. Kemudian saya pindah ke komunitas Kuningan-sebelah timur Masjid Kampus UGM. Saya cukup merasa nyaman di sana, dan di sana saya mengalami banyak perubahan sikap dan sifat. Alhamdulillah, setahun bergauk dengan masyarakat di Kuningan, orang tua saya pun bilang saya mengalami banyak perubahan positif. (terima kasih buat ibu-ibu di Kuningan yang tak lelah mengajari saya tentang arti kesabaran dalam obrolan-obrolan hangat).

Proses belajar saya pun tak pernah saya hentikan, doa pun tak pernah lelah saya panjatkan. Saya hanya ingin memiliki pribadi muslimah yang sewajarnya saja. Alhamdulillah...seiring sejalan dengan doa yang saya panjatkan, karakter positif itu mulai saya dapatkan dan karakter negatif itu telah banyak berkurang.
Hingga usia dewasa telah menghampiri, saya terus memohon pada Allah untuk kebaikan diri saya dan lingkungan sekitar saya. Tentunya Allah pun tau apa yang dibutuhkan hamba-Nya, hingga Allah datangkan lelaki itu kepada saya. Lelaki yang akan menuntun jalan saya menuju surga-Nya, lelaki yang akan menjadi qawam hidup saya...

'Kan kugenggam erat tanganmu dan tak akan kubiarkan lepas, bersama kita akan meretas jalan surga.'

Itu yang dia SMS-kan selepas akad nikah. Lucu sekali mendapatkan SMS dari orang yang wujudnya ada di dekat kita, ceritanya buang gratisan bonus pulsa juga tuh. Hehehe....
Saya kira lelaki itu cuma nggombal saja. Biasalah, pengantin baru tentu masih banyak idealisme-idealisme melangit...
Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai serius menanggapi kata-kata romantis lelaki itu. Ternyata dia memang serius melaksanakan apa yang menjadi puisi hatinya.
Terus terang saja, hidup dengan banyak orang tentu membuat kita butuh ekstra kesabaran. Ujian-ujian kesabaran itu seolah tak ada habisnya. Sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur'an;
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan; 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. Al Ankabut: 2)
Predikat sebagai muslimah yang sabar dan kalem itu tak akan dibiarkan begitu saja sama Allah. Harus diuji,setelah mengalami pembelajaran sekian waktu. Kuliah saja kita ada ujian, apalagi hidup. Pada intinya, untuk mendapatkan gelar Sarjana Sastra (S.S) saya harus ikut ujian pendadaran yang menguras keringat, apalagi untuk predikat keimanan dan kesabaran.

Ujian demi ujian saya dapatkan. Mungkin biasa saja bila ujian itu kita dapatkan dari orang-orang yang jauh dari pribadi kita, semisal tetangga, teman kerja, dan lain sebagainya. Bagaimana ketika ujian itu datang dari saudara kita sendiri? Atau bahkan orang tua kita? Luar biasa dahsyatnya! Kalau orang di luar sih gampang saja, kita cuekin, beres! Atau kalaupun ekstrim memutuskan pertemanan, tidak terlalu bermasalah toh sekedar teman (istilah gampangnya), apalagi sekedar teman di FB, delete, rampung!
Lha kalau saudara kandung? Saudara sepupu? Orang tua? Ada ancaman keras di sana untuk tidak memutus kekerabatan. Di sinilah iman kesabaran itu diuji.

Siapa sih yang nggak kesel menghadapi orang yang suka seenaknya sendiri, maunya menang sendiri, tidak pernah merasa bersalah, sudah begitu kalau menghadapi masalah malah menyalahkan orang lain? Siapa pula yang nggak kesel sama orang yang kalau diri kita susah, dia kesenengan, giliran dia susah, kita wajib merasakan kesedihannya pula! Seolah dirinyalah yang paling malang sedunia (memang iya!). Betapa merepotkannya! Dinasehati pun justeru mencaci-maki, untuk menutupi kesalahannya sendiri. Luar biasa kesabaran ini diuji ketika harus menghadapi orang berhati batu seperti ini. Tapi tentunya masih berat ujian Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam saat menghadapi Abu Jahal dan Abu Lahab.

Suami saya sering berpesan dengan tegas, "Laa taghdhob, walakal jannah!". Sepertinya dia sangat memahami karakter dasar saya. Padahal saya jarang sekali marah sama dia, kalaupun ada yang kurang pas hanya diam. terlebih lagi ketika dia pernah menuliskan puisi pada saya berjudul 'Kala Amarahmu Terdiam', dia puji saya sebagai bidadari. Dan bidadari itu tidak boleh marah! Haduh.............................beratnya saya rasakan...
Pernah suatu kali saya hampir meluapkan amarah pada seorang saudara saya. Apa yang dia lakukan? Dipegangnya tangan saya kuat-kuat, kemudian dibawanya saya ke kamar. Didudukan di pangkuannya dan saya diberinya kisah tentang seorang sahabat yang dijamin masuk surga hanya karena sifat ikhlasnya. Di akhir nasehat dia bilang, "Kamu mau surga nggak?". Berat sekali rasanya kepala ini mengangguk. Maka dia lanjutkan, "Kalau kamu tidak mau, ya sudah...nanti saya akan pilih bidadari yang paling cantik di surga karena kamu nggak mau mendampingi saya!"
Haduh.......hati saya terbakar cemburu sangad! Buru-buru saya mengangguk mantap dan bilang, "Saya mau mendampingi Ustadz di surga! Saya harus mendampingimu di surga!"
"Kalau mau, kamu harus belajar tentang makna keihklasan dan harus kamu terapkan dengan baik!"
Oh beratnyaaaa...................ratap hatiku...........tapi aku harus berusaha!

Belum sampai aku usai dengan ujian ilmu ikhlas ini, telah datang soal ujian yang lain lagi. Rasanya kepala saya sampai mendidih! Ndilalahnya, saat itu saya juga sedang sangat sumpek menghadapi ujian-ujian di kampus di satu sisi saya juga tengah menjalani long distance dengan suami (saya di Jogja dan suami di Madinah).  Sampai tak sengaja saya melontarkan kata-kata laknat pada seseorang. Begitu suami saya dengar karena mendapatkan pengaduan dari korban yang saya laknat, suami langsung telpon saya.
"Kamu tau nggak kenapa banyak wanita di neraka?", tanyanya.
"Karena mereka jarang bersyukur dan suka melaknat.", jawabku.
"Lha kamu habis melaknat siapa? Cabut laknatmu dan segera minta ampun sama Allah kalau kamu masih ingin mendampingi saya ke surga!", katanya lembut namun tegas.
Saya agak ngeyel, "Bukannya hal itu berlaku ketika laknat isteri kepada suami? Saya kan bukan melaknat suami?"
Dia bilang, "Sekali kamu melaknat orang, itu akan menjadi kebiasaan kalau kamu tidak segera bertaubat! Kalau kamu masih mau menjadi bidadari saya, cabut laknatmu pada orang itu!"
Huhuhuhuhuhuhu................saya berlinang air mata............terbuat dari apakah hati lelaki ini? Kok kayaknya dia nggak pernah sakit hati begitu saya disakiti orang lain.......
"Bukan saya nggak merasa sakit saat kamu disakiti orang lain, tetapi saya akan merasa lebih sakit lagi kalau kamu terpancing ikut melakukan dosa yang dilakukan orang yang menyakiti kamu....", katanya seperti tau apa yang saya rasakan. Maka demi surga, saya pun rela mengalah. Mencabut laknat saya dan bertaubat pada Allah.

Dan baru-baru ini, saya kembali menghadapi ujian itu. Sampai saya nggak nyaman tidur dan nggak enak makan. Ingin sekali rasanya ngamuk, mengeluarkan maghma panas di hati sebagaimana gunung merapi. Suami saya pun bagai juru kunci yang senantiasa memantau perkembangan saya dan terus memperingatkan, "Surga! Surga! Surga!"
Hingga suatu malam saya bilang, "Mbok saya dikasih izin sekali saja...buat meledakkan amarah saya. Cuma 1x ledakan, puas, sudah. Gimana? Insya Allah nanti pas mau saya ledakkan Ustadz menyingkir dulu biar nggak liat saya marah. Yaw?"
Dengan agak panik dia bilang,
"Jangan! Ingat! Laa taghdhob walakal jannah! Laa taghdhob walakal jannah! Laa taghdhob walakal jannah! Bukankah surga yang seluas langit dan bumi itu diperuntukkan bagi mereka yang bisa menahan amarahnya?"
Tegasnya masih dalam bingkai kelembutan. Ya Allah..........betapa Kau sayang padaku, dengan menghadirkan seorang pembimbing skripsi kesabaran dan keikhlasan untukku.....
Duhai surga............................sepertinya sangat mudah untuk mendapatkannya, hanya dengan menahan marah! Suatu hal kecil yang sangat berat aplikasinya.........................
TAPI AKU HARUS BISA!!!

No comments:

Post a Comment