2011/02/17

INDAHNYA HIDUP BILA BERJIWA BESAR


by Jazimah Al-Muhyi on Thursday, February 3, 2011 at 10:57pm

Madi, tokoh saya kali ini, adalah seorang anak (sebenarnya sih bukan anak karena usianya sepantaran saya). Namun biarlah saya menyebutnya anak, karena saya telanjur mengaggapnya adik kelas saya yang jauh.
Kenapa begitu?
Karena Madi sering tinggal kelas waktu SD, bahkan kalau nggak salah setiap jenjang kelas dia lalui selama dua periode alias dua tahun. Jadilah, dia dilekati cap sebagai anak bodoh.
Namun, tersinggungkah ia? Saya tidak tahu karena saya tak pernah bertanya. Yang jelas, anak itu setahu saya sukanya tersenyum. Senyum-senyum saja. Jadi, mau dibilang goblok, geblek, pengung, ra dhongan, koplo, atau apa pun, ya smile aja. Just smile.

Sampai akhirnya, lama tak dengar kabarnya, suatu hari saya mendengar kelulusannya dari sebuah SMK. SMK yang waktu itu masih di-kepalasekolah-i Bapak saya. Hebatnya, Madi hanya menggunakan waktu tiga tahun untuk menamatkan SMK-nya. tepat waktu seperti seharusnya. Padahal waktu itu banyak juga yang nggak lulus. Ini yang membuat saya heran. Kok bisa?

Bapak bilang, “Madi itu pintar  menggambar.”
Ooo, ternyata begitu. Menggambar di SMK (STM) yang dimaksud tentu bukan menggambar wajah atau pemandangan alam, melainkan mengggambar mesin. Dan itu butuh ketelitian tinggi. Saya pernah melihat seorang anak STM yang kos di rumah saya menggambar di kertas milimeter. Waah, geser setengah mili saja pasti ketahuan gurunya.
Subhanallah.

Saya mengambil banyak pelajaran dari kenyataan itu.
Tentang kesabaran Madi dengan cap bodoh yang disandangnya. Pun saya sangat salut dengan kesabaran kedua orangtuanya. Tidak putus asa untuk membiayai sekolah anaknya. Tidak serta-merta, “Udah, dasar kamu goblok, ngggak usah ke sekolah. Ngabis-ngabisin duit aja!”
Sistem pendidikan Indonesia yang memang masih angka dan bahasa oriented menjadikan banyak orang tidak terdeteksi kemampuannya. Nah, Madi salah seorang di antara ‘korban’nya. Pinter nggambar detil, mata pelajaran di SD yang mana yang bisa membuktikannya?

Terakhir bertemu, Madi sudah bekerja di sebuah pabrik.
Pernah dia ditanya, “Lah, di pabrik kamu kerja apa?”
“Bikin minum buat karyawan,” jawabnya santai.
Sikapnya memang santai, bergaya plompang-plompong sehingga wajar bisa terkesan ra dhong. Mungkin hal itu yang membuat orang senang menjadikannya sebagai bahan becandaan. saya pun sempat beranggapan bahwa Madi ini jenis manusia ’kelas bawah’.
Namun kini, setelah kehidupan nyata saya jalani, saya renungkan bahwa memiliki sikap seperti Madi itulah yang justru akan membuat hidup jadi tentram, penuh bahagia. Menikmati peran ditertawakan, dibodoh-bodohkan, dianggap sepele dan bahkan dianggap tidak bisa apa-apa. Hati terlepas dari keinginan dipuji atau dianggap hebat. Sungguh sebuah jiwa yang besar.

Saya? Masih sangat jauh dari itu.
Saya masih kerap menginginkan pujian, saya sedih dengan cemoohan, bahkan hanya dikritik saja kadang membuat hati jadi mrekitik. Sebabnya? Apalagi kalau bukan karena saya merasa pintar, hebat, dan lebih dari yang lain. Padahal apanya yang lebih?

Saat melihat Madi mengendarai motornya dalam rangka berangkat kerja, saya pun teringat tahun-tahun yang telah lewat. Saat dia, dengan badan bongsornya masih saja mengenakan seragam merah putih sementara teman-teman seangkatannya bahkan sudah menggganti seragam putih biru dengan putih abu-abu.
Kalau saja Madi tidak berjiwa besar, mungkin saja dari mulutnya terlontar, ”Lihat, sekarang aku sudah kerja. Lah kalian, dulu suka menghina aku, sekarang kerja juga nggak. Tiap hari cuma nongkrong, genjrang-genjreng, kluyar-kluyur, masih minta duit orangtua, nggak mutu!”

Seperti saya di masa lalu. Lantaran kesal disalahkan banyak orang atas keputusan saya keluar dari kuliah, padahal saya merasa mengambil keputusan yang benar, saya jadi peka untuk bisa balik menyalahkan orang lain.
Misal, meledek teman saya, ”Alaah, daripada kuliah nggak kelar-kelar, ngabisin duit orangtua, ngabisin anggaran negara (dia kuliah di negeri yang saat itu masih bersubsidi) ... mending keluar kayak aku!”
Saya sempat merasa hebat karena ketika teman-teman seangkatan saya baru selesai kuliah dan mulai sibuk mencari kerja, saat itu saya sudah (merasa) eksis sebagai penulis lantaran beberapa buku yang sudah terbit.
Astaghfirullah! Sungguh, jiwa saya masih kerdil.

Mengakhiri tulisan ini, bismillah, semoga saya mampu melatih jiwa menjadi jiwa besar.
Tak lupa diri saat dipuji, tak rendah diri saat dicaci.
Amiiin.

No comments:

Post a Comment