2011/02/17

HATI-HATI MENJADI ISTRI


by Jazimah Al-Muhyi on Saturday, February 5, 2011 at 2:08am

Sekali ini saya mau nulis tentang Gayus. Bukan mau bikin analisis ini dan itu, cuma mau mengajak mengobrolkan tentang istri Gayus.
Menurut Anda, dia bersalah tidak?
Menurut saya dia bersalah juga, dan sebenarnya dia pun layak dimasukkan penjara menemani suaminya.
Anda menuduh saya kejam, tidak punya nurani, tidak kasihan pada anak-anaknya yang masih kecil-kecil?
Tolong tidak mencampuradukkan antara hukum dengan perasaan!

Mengapa menurut saya istri Gayus salah? Karena jelas dia mendukung suaminya. Mendukung dalam bentuk apa? Tentu saja dalam bentuk mengiyakan perilaku suaminya.
Saya beberapa kali berdiskusi dengan suami mengenai masalah itu. Akhirnya saya bilang, ”Ya memang istri Gayus itu salah, tapi ... pasal apa yang bisa dipakai untuk menjeratnya?”
”Dia kan melindungi perbuatan salah suaminya.”
”Tapi, emang bisa begitu?”
Itulah kelemahan hukum dunia. Tapi di hadapan mahkamah Allah, adakah sebuah kesalahan yang bisa bebas tanpa pembalasan hukuman?


Suami istri adalah sebuah sinergi. Tentu ada sinergi yang positif seperti Muhammad-Khadijah, ada pula sinergi negatif seperti Abu Jahal dan Ummu Jamil (betul ya namanya?). Tidak mungkin terjadi positif dan negatif bersatu dalam damai. Jika terjadi positif negatif, pasti akhirnya terpisah, seperti Fir’aun dengan Aisyah, atau nabi Nuh dengan istrinya atau nabi Luth dengan istrinya.
Seorang istri amat sangat besar peranannya dalam menginspirasi perilaku suami. Senyumnya, cemberutnya, kerap menjadi pertimbangan suami saat hendak melakukan atau memutuskan sesuatu.

Suami saya bilang, ”Itu lho istrinya Gayus kok ya nggak heran suaminya cuma PNS biasa kok duitnya milyaran. Kok nggak mempertanyakan atau mengingatkan.”
Saya pun komentar, ”Ya itu yang namanya tumbu oleh tutup. Kompak. Saling mendukung. Gayusnya merasa uang sogok itu memang haknya, istrinya pun sama.” Lha wong saya dikasih kok, jadi ya nggak papa. Jadi, peduli amat ama rakyat Indonesia yang kehilangan hak, peduli amat pada negara yang rugi, dll.”

Ibu-ibu, para istri, mari kita sadari peran kita yang sangat penting bahkan menentukan di dalam keluarga.
Saya teringat Hajar, ibunda Nabi ismail. Subhanallah. Kalau bukan karena keimanan yang kuat, niscaya Hajar bisa menjadi inspirasi bagi suaminya untuk ingkar terhadap perintah Rabbnya. Bayangkan, ditinggal sendirian di padang gersang tanpa fasilitas, tanpa teman. Belum cukup itu, bahkan anaknya pun mau disembelih.
Terhadap semua itu, Hajar hanya bertanya, ”Apakah itu perintah Allah? Maka, ketika suaminya mengatakan ya, maka bulatlah keputusannya. Sami’na wa’atho’na. Saya mendengar dan saya taat.
Subhanallah. Ya Allah, semoga kita pun mampu menjadi istri yang menginspirasi dan bahkan senantiasa menguatkan suami untuk istiqomah meraih ridho Allah. Dan bukan sebaliknya. Na’udhubillah.
Ibu-ibu, para istri, saya mengajak untuk semakin berhati-hati terhadap pemasukan suami. Terhadap maisyah yang diperoleh suami. Jangan tahunya cuma cukup syukur lebihnya banyak sehingga bisa senang-senang, tapi harus yakin juga dengan kehalalannya.
Saya teringat seorang teman saya yang PNS (pegawai perpustakaan), yang pernah cerita kalau dia kerap gundah dengan uang-uang ’kurang jelas’ yang diterimanya. Dapat uang lembur padahal jam kerja lembur tidak terpenuhi sebagaimana mestinya, dana taktis yang dibagi-bagi, dll.
Akhirnya, teman saya itu mengambil keputusan kalau uang ’tidak jelas’ itu dibelikan buku-buku untuk dipinjamkan. ”Biar manfaatnya kembali ke masyarakat,” katanya.
Bayangkan jika istrinya tidak shalihah, pasti keberatan.
”Alah Maas, duit sebanyak itu kan mendingan ditabung buat bayar anak sekolah, atau rekreasi gitu loh.”

Setiap harta yang haram pasti membawa ketidakbaikan. Kerusakan hubungan, ketidaktentraman, kegelisahan, ketidakharmonisan.
Omahe gedhe magrong-magrong, bojone ayu kinclong, kalung gelange pating krompyong, tapi lanang wadon gaweyane saben ndino padudon .. yo uwis kuwi ngalamat bandhane ora berkah. Begitu nasehat yang pernah saya dengar dari seorang muballighoh.
Ada beberapa KDRT di dekat lingkungan saya dulu, saya amati semua berawal dari perolehan suami yang kurang baik.
Nah, pada umumnya istri, baru merasa terdholimi setelah suami melakukan kekerasan fisik, atau selingkuh bahkan kawin lagi. Tapi, sebelumnya kurang sensitif.
Yang saya tahu, para pelaku KDRT itu adalah orang-orang yang sukanya judi, sabung ayam, tidak mau sholat, dll.
Saya jadi mikir, ini pas suaminya udah mulai menyimpang dari agama, istrinya mengingatkan nggak ya. Soalnya, kalau sudah melenceng dari aturan hidup yang diberikan Allah, maka KDRT dan perselingkuhan itu hanya menunggu waktu.
Meski, tentu saja tidak semua kasus KDRT atau perselingkuhan memiliki sebab yang sama dengan yang terjadi di lingkungan sekitar saya.

Sebagai perempuan, saya lebih suka mengajak kaum saya untuk lebih teliti lagi menjaga diri, untuk lebih teliti lagi meneliti kekurangan diri dan berjuang sekuatnya dalam upaya memperbaiki diri. Kenapa begitu? Ya, karena yang dalam kuasa kita adalah diri sendiri. Lak yo iya tho?

Setiap perilaku suami, besar maupun kecil ada andil istrinya. Kalau istrinya mengeluh terus tentang uang belanja yang kurang, tetangga punya ini itu kita kok nggak, malu sama orangtua en saudara karena hidup yang gini-gini aja, gimana suami nggak terdorong buat korupsi atau kerja apa saja bahkan ’wal gediwal halal haram kabeh diuntal’?
Emang masih ada suami di hari gini yang mentalnya sekuat Nabi? Istri minta tambahan uang belanja, ditanya pilih Allah dan Rasul atau diceraikan baik-baik? (mohon korensi bila pemahaman saya mengenai masalah ini keliru).
Maka, memang harus hati-hati menjadi istri. Hati-hati menata hati , hati-hati dalam bicara dan bersikap. (Hadoohh, ini sungguh tak mudah, tapi memang harus diupayakan terus!)

Menjadi seorang istri harus selalu mengambil peran aktif.
Menjadi pendukung suami dalam kebaikan.
Penyemangat saat suami sedang terpuruk
Pengingat di kala suami alpa.

Masih ingat kisah Khadijah? Yang memberikan seluruh hartanya di jalan dakwah?
Masih ingat Fatimah istri Umar bin Abdul ’Aziz? Yang rela melepaskan seluruh perhiasan untuk dimasukkan ke baitul mal, serta menolak mentah-mentah tawaran pengembalian perhiasan saat suaminya telah wafat.

Mengakhiri tulisan ini, saya teringat untaian kalimat indah seorang istri pada suaminya yang hendak berangkat kerja,
”Suamiku, insya Allah aku sanggup untuk bertahan hidup sederhana, apa adanya. Aku pun kuat untuk menahan panasnya hati dari keinginan ini dan itu. Tapi, aku pasti tidak sanggup jika harus dibakar dalam panasnya api neraka. Jadi, tolong berhati-hatilah dalam mencari nafkah untukku.”

No comments:

Post a Comment