2011/04/02

Sarung Tangan Wisuda


Aku ingin menuliskan pengalamanku saat wisuda. Ini terlepas soal manfaat mudharat wisuda. Hanya membahas sedikit beberapa hal yang menggelitik terkait wisuda, khususnya saat aku wisuda. Aku berangkat ke GSP sendiri. Mengendarai mobil sendiri. Pasalnya, kakekku asmanya tiba-tiba kambuh. Lalu ibu bapakku mengantarkan dahulu kakek ke RS ditemani kakak sepupuku. Sesampainya di GSP, aku baru sadar, ternyata bajuku gak ada kantongnya. Otomatis aku kerepotan, mau ditaruh mana hp dan juga kunci mobil. Akhirnya, aku menitipkannya pada seorang temanku.

Saat itu GSP sudah mulai penuh, banyak sekali orang-orang yang kukenal, dari berbagai jurusan yang kebetulan bersamaan wisudanya. Berkumpullah aku dengan para wanita. Aku cukup takjub alias terkejut, ternyata dandanan para wanita saat wisuda tidak kalah heboh saat jadi pengantin (halah, kayak udah pernah aja :p). Ya gitu deh. Obrolan banyak berkutat soal : nyalon di mana, bangun jam berapa dll dsb (bukannya ngobrolin, apa yang akan kita lakukan setelah wisuda..hehe, ya maklum namanya juga manusia, masih euforia).


Membahas sedikit tentang berdandan saat wisuda. Saya sebenarnya punya pertanyaan, siapa sih yang mengawali sehingga wisuda itu identik dengan "dandan ala manten", ntah itu make up, sanggul, baju kebaya, sarung/jarik/ songket, sampai sepatu yang model begitulah. Waktu itu, saya cuma berprinsip yang penting rapi dan pantaslah. Pakai baju kurung, sepatu rapi, dan jilbab yang agak rapian dikit saya rasa sudah cukup. Dan memang Alhamdulillah orang tua juga menyiapkannya seperti itu. Soal dandananpun, Alhamdulillah ortu bukan tipe yang suka dandan macem-macem. Jadi saya pas itu gak mengada-ngadakan make up.

Hanya karena ada kakak sepupuku yang datang dari barat saya akhirnya saya terpaksa menjadi klien dadakannya (cuma sekitar 5-10 menit, hehe). Alhamdulillah, cuma bedak warna netral yang tipis dan lipglos warna netral. Jadilah waktu itu,  saya banyak ditanyai muslimah kenalan saya, "dandan di salon mana dik, kok bisa minimalis banget?". Saya jawab saja, "salon kakak tercinta, hehe" (sambil mbatin, memang ada peraturan ya wisuda harus ke salon, apalagi sampe bela-belain antri dari jam 3 pagi, padahal untuk bangun tahajud jam 3 aja kita masih sering terasa berat). Ada juga yang tanya, " kok ga dandan?" dan dengan santai kujawab,"males".

Kalo aku pikir-pikir dan aku ingat-ingat, tidak ada tuh sebiji pun temanku laki-laki yang bertanya soal dandan di salon mana, kenapa begini kenapa begitu. Entah itu sikap mereka pada saya saja karena mereka sudah tau saya tidak suka neko-neko atau bagaimana, tapi kalau aku ingat-ingat lagi mereka jarang ada tanya, kecuali paling ya sedikit menyindir yang dandanannya sedikit berlebihan. Malah ada yang nyeletuk, "la wong pakai baju tidur aja kayaknya ga keliatan kok mbak, kan ketutup toga". Jadi kupikir-pikir, kenapa ya wanita itu heboh dan menyibukkan diri sendiri? hehehe

Itu sesi pertama episode wisudaku. Kita lanjut ke sesi berikutnya, the main session, yaitu penyerahan ijazah, yang duduk manis antri untuk maju satu satu ke depan menerima ijazah. Soal ini aku merasa lucu. Lebih tepatnya aneh. Kurasa aku membaca dengan jelas (aku lupa di surat undangan atau di mana ya instruksinya?). Yang jelas, jelas-jelas ada instruksi, bagi muslimah yang tidak mau salaman harap memakai sarung tangan agar dekan bisa menandai. Ok, dan kulakukanlah instruksi tersebut. Aku beli sarung tangan dan memakainya saat itu. Sampai-sampai banyak teman pria yang iri, "enak ya nek akhwat iso nggo sarung tangan, la nek ikhwan dekane ibu-ibu piye jal?" Akan tetapi, saya heran. Ketika saya sudah pede mau mengambil ijazah dari pak dekan, jreng-jreng.. kok pak dekan mengulurkan tangannya juga ya. Padahal saya bukan termasuk urutan pertama di fakultas teknik lo, malah hampir-hampir baris akhir.

Saya tidak menyalahkan pak dekan, lagi pula saat itu dekan teknik baru saja serah terima jabatan (new dean), jadi mungkin pak dekan belum terbiasa jadi lupa akan aturan sarung tangan itu. Yang saya herankan, kalau saya yang notabene bukan muslimah dengan sarung tangan yang pertama ke depan, kalau pak dekan masih mengulurkan tangannya, berarti bagaimana dengan sikap muslimah-muslimah bersarung tangan sebelum saya? Apakah mereka mengartikan bahwa dengan sarung tangan gakpapa untuk bersalaman? Masalahnya, instruksi sarung tangan itu sangat jelas, memakai sarung tangan agar dekan bisa menandai yang tidak mau bersalaman. Berarti ini sudah ada kepemahaman bersama. Kalaupun ada yang memudahkan dengan sarana sarung tangan, saya tetap tidak bisa menganggapnya sebagai situasi darurat. Sekali lagi karena instruksinya sudah jelas. Malah saking aku merasa penasaran, aku bahas juga soal itu sama beberapa teman sejurusan. Barangkali aku yang salah memahami kalimat instruksinya. Dan teman-temanku pun sepaham denganku.

No comments:

Post a Comment