2011/10/01

Ya Allah, Mampukan Aku Mengasuh Sendiri Anak-anak

 by Jazimah Al-Muhyi on Thursday, September 15, 2011 at 8:24pm

“Gimana nih Ma ntar kalau udah 4, tetep nggak mau pakai pengasuh?” tanya suamiku suatu hari.
Aku mulai mikir.
“Ayah tuh kepikiran kalau pas Ayah tugas keluar daerah dan menginap berhari-hari. Apa nggak susah Mama harus mengurus 3 anak kecil plus satu bayi?”
Iya juga ya, pikirku. Tapi cuma kujawab, “Ya, lihat saja nanti gimana.”

Selama ini asisten yang membantu di rumah, yang semula hanya datang pagi hari, sekarang datang lagi di sore hari, cukup membantu. Anak-anak cukup dekat dan mau ditangani oleh beliau (Misalnya mandi). Dan bagiku, itu cukup. Tapi gimana kalau malam hari?
Ah, sudahlah, aku tidak mau pusing memikirkan hal yang belum terjadi. Nanti ya nanti sajalah.


Sampai, pada suatu ketika Naila (anak kedua, 3 tahun 3 bulan) sakit kemudian harus opname. Sepulang dari rumah sakit, Naila tentu butuh perhatian ekstra. Memulihkan traumanya, juga harus sangat telaten membujuknya agar mau makan dan minum, bahkan menggendongnya. Jelas harus ada yang membantuku untuk menjaga Muhammad (anak ketiga, 18 bulan) yang sangat aktif itu. Akhirnya, kuputuskan meminta tolong kepada tetangga yang biasa kutitipi Muhammad saat aku benar-benar sedang sangat repot. Kebetulan Muhammad nampak senang dengan keluarga tersebut, karena pola asuh yang tidak banyak larangan, juga kehangatan antar anggota keluarga. Maka, jadilah … sekitar antara pukul 9 pagi sampai pukul dua siang, Muhammad bersama tetangga tersebut. Kadang sampai Asar. Yang jelas, per harinya lebih dari lima jam, Muhammad berpisah denganku.

Muhammad terlihat senang dan menjadi lebih  nyenyak tidur, mungkin karena lelah bermain dengan teman sebayanya. Aku tentu saja ikut senang. Kupikir, kalau Muhammad sudah lengket dengan tetangga itu, tentu kelak lebih memudahkanku saat adiknya Muhammad lahir. DEngan Muhammad yang dititipkan, aku juga jadi punya kesempatan untuk istirahat siang hari. Lumayanlah.

Seminggu berlalu, dan aku mulai merasa tidak nyaman. Sepertinya ada yang salah. Ada yang kurang pas. Namun kucoba berdamai dengan kenyataan. Aku tidak mungkin menggendong Naila dan Muhammad bersamaan, karena kandunganku juga sudah semakin besar. Dan meski di rumah, kasihan suami kalau harus full mengurus Naila, karena ketika di RS selama 6 hari dan menunggui Naila 24 jam nyaris full tentu banyak sekali pekerjaan yang terbengkalai. Jadi, kucoba tepis rasa tak enak itu … demi melihat Muhammad yang kadang menangis keras tidak mau diajak pergi, melihat protes manyun Aulia (si sulung, 5 tahun 3 bulan) saat adiknya dibawa pergi, standar pengasuhan yang tentu saja tak sama denganku, dll.

Dua minggutelah berlalu, dan aku mulai dalam puncak resah. Ya, sebenarnya aku tidak sepenuhnya tega melepaskan Muhammad ke dalam asuhan orang lain. Cuma, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Mengandalkan kakak-kakak iparku tidak mungkin karena kesibukan mereka masing-masing. Kalau nitip satu dua jam sih tidak apa-apa, tapi kalau lima jam dan setiap hari?
Naila sudah sehat, sudah mau makan minum cukup banyak, pun sudah banyak tersenyum dan mau main sendiri.

“Ayah, berhenti saja ya minta tolongnya?”
“Kenapa?”
“Naila sudah sehat. Tidak lagi tergantung sama Ma. Ma merasa bersalah sama Muhammad.”

Ya, selama 5 jam lebih setiap hari aku tidak tahu apa yang dilihat, didengar, dimakan dan diminum oleh Muhammad. Padahal pernah kubaca kalau balita berpisah dengan obyek lekat selama lebih dari 30 jam per minggu, kelak potensial menjadi agresif dan pembangkang.
Pun aku merasa sangat tidak nyaman harus menyalahkan orang lain saat terjadi hal yang tidak dikehendaki seperti Muhammad yang tiba-tiba batuk sepanjang malam. Kurasakan juga, aku yang terkadang kewalahan meredakan tangis Muhammad, seolah aku tidak mengenalinya sebagai anakku. Kemudian teringat tekadku untuk memperbaiki hafalan juzz ammaku dengan tujuan bisa kuperdengarkan saat menemani Muhammad bermain. Yang lainnya, beberapa kali aku mengetahui kalau Muhammad dibohongi, hanya sekadar agar dia mau diajak atau meredakan tangisnya. Ooh, padahal bohong itu adalah awal mula segala macam kejahatan di muka bumi ini. Jelas aku tidak mungkin rela anakku dibiasakan dalam kebohongan. Ada banyak cara untuk mendiamkan anak menangis, mau makan, mau menuruti apa yang kita inginkan, tanpa harus berbohong. Itu cuma soal tekad dan pembiasaan saja.

Alhamdulillah, aku menjadi sangat lega ketika penitipan Muhammad sudah kuhentikan. Ya, kadang-kadang masih nitip sih, tapi kuusahakan tidak lebih dari satu jam, dan itu pada saat kepepet saja. Aku tidak mau nitip Muhammad hanya karena ingin memasak dengan lebih cepat atau membersihkan rumah yang kacau-balau. Dua aktivitas itu tidak lebih penting dari mengupayakan yang terbaik untuk Muhammad dengan cara mengasuhnya sendiri.
Memang sih, acara memasak kembali diwarnai oleh teriakanku pada Muhammad yang daya eksplorasinya memang di atas dua kakak perempuannya. Harus mengupayakan sabar lebih juga, melihat pekerjaan yang ingin dibereskan tapi terhalang kondisi badan yang sudah loyo, juga sabar melihat acakadulnya rumah. Belum lagi alau Makde (asisten) sore hari tidak datang lantaran hal-hal tertentu. Lengkap sudah alasanku untuk stress.

Tapi biarlah, ini memang saatnya menikmati stress tersebut, agar lebih dan lebih lagi upayaku untuk tawakal, untuk mohon kepada Allah agar senantiasa dikuatkan dalam menjaga amanah yang DIA titipkan, yang kelak harus kupertanggungjawabkan kepada-Nya. Saat membaca kisah-kisah para pejuang, orang-orang yang menyerahkan dirinya di jalan Allah, terbayang kelak anak-anakku pun bisa demikian. Maka, siapa yang harus menyiapkan mental mereka sejak dini agar kelak mempunyai  jiwa pejuang jika bukan aku dan suamiku? Meski kadang ragu, karena kalau lelah mendera … jangankan mendidik dengan baik, malah teriak-teriak terus.  Bukannya responsif malah reaktif sehingga membuat anak-anak jadi kaget atau takut. Yah, dalam prakteknya, aku masih harus terus berjuang agar bisa tenang terkendali menghadapi keaktifan anak-anak. Entah kapan aku bisa sukses jadi ibu yang sabar. Tapi, tentu aku tak boleh menyerah. Agaknya, aku harus bersabar meniti waktu untuk bisa jadi sabar.

Sejujurnya, membayangkan kelak aku harus mengasuh 4 anak kecil, saat ditinggal suami tugas keluar daerah, kadang galau juga. Nanti bagaimana? Tapi coba kutepis dengan senyum. Semoga aku mampu. Tepatnya, semoga Allah memampukanku. Bukankah dulu, jangankan mengasuh 3 balita, mengasuh satu anak saja sudah membuatku stress dan hampir tidak bisa melakukan hal lain termasuk menulis? Kini toh aku sudah terbiasa mengasuh 3 balita (Eh, yang sulung udah lima tahun lebih 3 bulan dhing).  Mengapa harus terlalu khawatir dengan tambah satu lagi?
Tidaklah Allah menciptakan beban melainkan telah tercipta pula pundak untuk menanggungnya. Bismillah, anak adalah rezeki terindah dari-Nya. Bukan beban, melainkan sarana untuk menggembleng diri menjadi manusia yang lebih baik di hadapan-Nya. Insya Allah.
Mohon doanya ya para pembaca semua J

No comments:

Post a Comment