2011/04/01

WAHAI PARA LELAKI...

 
by Embun Biru on Tuesday, October 26, 2010 at 1:42pm

“Jadi terkait hadits yang artinya; Aku tidak melihat wanita-wanita yang kurang akalnya dan agamanya yang dapat menghilangkan kemauan keras lelaki yang tegas daripada seorang di antara kamu’. Kemudian para shahabiyah bertanya,  Apa yang dimaksud dengan kekurangan agama kami dan akal kami, ya Rasulullah?’. Jawab beliau, ‘Bukankah kesaksian seorang wanita itu seperti setengah kesaksian seorang laki-laki’?’, mereka menjawab, ‘Ya!’. Kemudian beliau bersabda, ‘Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah apabila wanita haid tidak melakukan shalat dan juga tidak berpuasa?’, mereka menjawab, Ya!’. Rasululllah bersabda, Itulah yang dimaksud kekurangan agamanya., Dinda paham maksudnya?”

            Seperti biasa, pacarku (baca : suami -red) selalu memantikku. Kupikir apa yang dikatakan Rasulullah bukan suatu bentuk diskriminasi pada kaum wanita. Sebab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa kekurangan akal wanita itu dilihat dari sudut ingatan yang lemah, maka dari itu kesaksiannya harus dikuatkan oleh kesaksian seorang wanita yang lain untuk menguatkannya, karena boleh jadi ia lupa, lalu memberikan kesaksian lebih dari yang sebenarnya atau kurang darinya. Hal ini sebagaimana firman Allah;
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang wanita dari saksi saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya.” (Al Baqarah: 282).


            Dan dalam kekurangan agamanya adalah karena didalam masa haid dan nifas wanita meninggalkan shalat dan puasa dan tidak mengqadha shalat yang ditinggalkannya selama haid atau nifas. Inilah yang dimaksud kekurangan agamanya. Akan tetapi kekurangan ini tidak menjadikannya berdosa, karena kekurangan tersebut terjadi berdasarkan aturan dari Allah. Dialah yang memberikan ketetapan hukum seperti itu sebagai wujud belas kasih kepada mereka dan untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Sebab, jika wanita harus puasa disaat haid dan nifas, maka hal itu akan membahayakannya.

            Namun demikian tidak berarti bahwa wanita kurang akalnya dalam segala sesuatu atau kurang agamanya dalam segala hal! Rasulullah telah menjelaskan bahwa kurang akal wanita itu dilihat dari sudut apa yang terjadi padanya, yaitu kelemahan ingatannya dalam kesaksian. Sedangkan kurang agamanya itu dilihat dari sudut apa yang terjadi padanya, yaitu meninggalkan shalat dan puasa di saat haid dan nifas. Dan inipun tidak berarti bahwa kaum lelaki lebih utama (lebih baik) daripada kaum wanita dalam segala hal. Meski secara umum laki-laki itu lebih utama daripada wanita karena banyak sebab, sebagaimana firman Allah;
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (An Nisa’: 34).

            Namun, adakalanya wanita lebih unggul daripada laki-laki dalam banyak hal. Betapa banyak perempuan yang lebih unggul akal (kecerdasannya), agama, dan kekuatan ingatannya daripada laki-laki. Sesungguhnya yang diberitakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah secara umum kaum perempuan itu di bawah kaum lelaki dalam hal kecerdasan akal dan agamanya dari dua sudut pandang yang dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tersebut.

            Tidak sedikit perempuan yang amal shalih dan ketaqwaannya bisa mengalahkan kaum laki-laki. Dan kadang dalam masalah tertentu perempuan itu mempunyai perhatian yang lebih sehingga ia dapat menghafal dan mengingat dengan baik melebihi kaum laki-laki dalam banyak masalah yang berkaitan dengan dia (perempuan).

            Ketika seorang wanita bersungguh-sungguh dalam menghafal dan memperbaiki hafalannya sehingga ia menjadi rujukan (referensi) dalam sejarah Islam dan dalam banyak masalah lainnya. Hal seperti ini sudah sangat jelas sekali bagi orang yang memperhatikan kondisi dan perihal kaum perempuan di zaman Rasulullah dan zaman sesudahnya.

            Dari sini dapat diketahui bahwa kekurangan tersebut tidak menjadi penghalang untuk menjadikan perempuan sebagai sandaran di dalam periwayatan, demikian pula dalam kesaksian apabila dilengkapi dengan satu saksi perempuan lainnya; juga tidak menghalangi ketaqwaannya kepada Allah dan untuk menjadi perempuan yang tergolong dalam hamba Allah yang terbaik jika ia istiqomah dalam beragama, sekalipun di waktu haid dan hifas pelaksanaan puasa menjadi gugur darinya (dengan harus mengqadha), dan shalat menjadi gugur tanpa harus mengqadha.

            Semua itu tidak berarti kekurangan perempuan  dalam segala hal dari sisi ketaqwaannya kepada Allah, dari sisi pengamalannya terhadap segala perintah-Nya, dan dari sisi kekuatan hafalan. Maka tidak sepantasnya seorang lelaki beriman menganggap perempuan mempunyai kekurangan dalam segala sesuatu dan lemah agamanya dalam segala hal. Kekurangan yang ada hanyalah kekurangan tertentu pada agamanya dan kekurangan khusus pada akalnya, yaitu yang berkaitan dengan validitas kesaksian.  

            Maka, wahai para lelaki, berlaku adil dan objektif-lah dalam menginterpretasikan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, dengan sebaik-baik interpretasi. Wallahu ‘alam…

No comments:

Post a Comment